Chapter 1. Tetangga Tidak Berakhlak

9 1 1
                                    

Rhea sebenarnya orang yang sabar asalkan suasana di sekitarnya tenang. Sayangnya kondisi itu sulit dicapai selama seminggu belakangan. Musik ala diskotik selalu mengacaukan harinya sejak seorang Tiktoker tidak berakhlak menempati rumah sebelah. Gara-gara orang itu, kesabaran Rhea hampir runtuh.

Dia pun meletakkan bukunya dengan kasar di atas meja. Dengan wajah berkerut, gadis semampai itu menyentuh tembok kamarnya yang bergetar akibat gemuruh sound system. Lagu berbahasa Korea terdengar jelas meski ada tembok yang memisahkan dua rumah tersebut. Di lingkungan perumahan untuk kaum menengah ini, rumah-rumah berhimpit satu sama lain sehingga gangguan sangat cepat merembet.

Ini nggak bisa dibiarin! Rhea merutuk geram dalam hati.

Dia bangkit dari tempat duduknya dengan kasar kemudian melangkah keluar rumah. Ketika membuka pintu depan, dia disambut keramaian. Ada kumpulan cewek SMA yang memperhatikan rumah warna butter di sebelah dengan malu-malu. Beberapa di antara cewek-cewek itu bisa Rhea kenali karena mereka bersekolah di tempat yang sama.

"Bener nggak sih yang ini rumahnya?" bisik cewek berambut pendek yang memegang iphone.

"Beneran, gue liat sendiri Mikha masuk ke rumah ini," sahut yang lain.

Ingin rasanya Rhea memukul jidat. Cewek-cewek itu ternyata para stalker yang mengagumi Mikha, tetangganya yang tidak tahu diri itu. Apa mereka tidak sadar kalau apa yang mereka lakukan adalah pelanggaran privasi? Rhea semakin jengkel.

"Minggir!" hardik Rhea yang berniat menembus keramaian. Dia perlu berbicara dengan tetangganya yang sok terkenal agar mengembalikan ketenangan kompleks perumahan ini.

"Apaan sih lo! Gue dateng duluan, lo mesti antri di belakang," bentak seorang cewek berdandan imut ala boneka.

Bentakan itu dibalas Rhea dengan mata melotot. "Gue perlu ngomong sama tetangga gue. Yang rumahnya nggak di kompleks ini, silahkan pulang!" teriaknya. Dia menghempaskan semua cewek yang menghalangi jalan lalu menekan bel rumah Mikha secara beruntun. Sayangnya itu tidak berhasil menarik perhatian penghuni rumah sehingga Rhea membuka pagar dan menggedor pintu.

"Mikha! Matiin musiknya! Kalau nggak, gue tendang pintu lo sampe rusak!" Rhea yang kepalanya panas, tidak lagi memperhatikan kaidah-kaidah kesopanan. Menurutnya, tetangganya tidak layak menerima kesopanan setelah mengacaukan hidupnya selama seminggu.

Ancaman itu berhasil. Keriuhan musik menghilang dan digantikan suara langkah yang mendekat. Suara langkah itu sepertinya menghipnotis cewek-cewek di depan pagar rumah. Keramaian obrolan manusia memecah ketenangan yang hanya bertahan sebentar. Saat pintu warna krem khas perumahan itu terbuka, suasana ramai berubah menjadi histeria.

"Mikha! Mikha!" Para fans - Mikhaners, meneriakkan nama idola mereka bersahut-sahutan. Kepala Rhea langsung berdenyut-denyut menghadapi kebisingan baru. Oleh karenanya, ketika seorang pemuda jangkung muncul dari balik pintu, Rhea menatap garang.

"Kenapa lagi? Perasaan udah gue kecilin suaranya," keluh Mikha begitu melihat Rhea. Rambutnya basah oleh keringat, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Penampilan itu justru terlihat seksi.

"Apanya? masih jedug-jedug gitu. Tembok gue sampe goncang gara-gara lagu yang elo puter. Kalau elo masih kayak gini, gue bakal laporin ke Pak RT." Rhea marah-marah dengan gelap mata. Dia bahkan tidak peduli pada wajah tampan Mikha yang memiliki hidung mancung dan mata obsidian indah dengan kelopak ganda.

"Elo aja kali yang kelewat sensitif. Tetangga lain nggak ada yang protes." Mikha masih membela diri.

"Duh! Itu karena mereka nggak enakan aja. Selain itu, rumah lo nempel sama tembok kamar gue. Makanya ganggu banget."

"Tapi gue juga gak pernah hidupin musik malem-malem kan? Gimana kalau lo toleran dikit? Gue juga nggak lama kok latihannya. Please ya, latihan ini penting banget buat gue."

"Nggak bisa! Gue juga perlu belajar. Itu juga penting banget buat gue."

Rhea tidak berbohong. Dia memang harus rajin belajar. Ketika SMP dia tidak berhasil memperoleh juara satu sehingga orang tuanya seperti meremehkannya. Semester ini dia harus berjuang sebaik-baiknya. Kalau tidak, dia akan dianggap anak cewek yang gagal.

Mikha mengembuskan napas lelah. "Rhe, lo kan bisa pake headset kalau nggak mau dengerin latihan gue."

"Gimana kalau lo aja yang pake headset?" Rhea masih tidak mau kalah.

"Nggak bisa, nggak nyaman pas nge-dance. Lo kan cuma belajar. Bisa dong lebih flexible."

Cuma belajar? Tanpa aba-aba, Rhea menarik kerah baju Mikha sehingga cowok setinggi 180 cm itu harus menunduk di hadapan cewek yang hanya setinggi 165 cm. Rambut sepinggang Rhea terlihat makin awut-awutan karena wajahnya memancarkan amarah.

"Sebelum lo pindah ke sini, tempat ini tenang. Sebagai penghuni baru, elo harus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini. Sebelumnya gue nggak perlu menoleransi keributan. Sekarang pun gue nggak bakal mau toleransi. Selain itu, lo juga udah bikin tempat ini nggak aman. Fans-fans lo dateng seenaknya dan ngerusuh di sini. Gue nggak suka ya, tempat tinggal gue jadi rusak gara-gara elo," cerocos Rhea tanpa kedip.

Mikha akan membuka mulut tetapi langsung dipotong Rhea lagi. "Gue mau dua hal dari elo. Pertama, jangan bikin keributan. Kedua, didik fans-fans sialan lo itu biar nggak bikin rusuh di sini. Kalau nggak, gue akan lapor RT dan juga polisi karena lo udah ganggu kenyamanan gue."

Setelah selesai dengan dua tuntutannya, Rhea melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Mikha. Dia langsung berbalik, menghentakkan kaki, lalu menembus keramaian untuk pulang ke rumah. Dalam perjalanannya mencapai rumahnya yang hanya berlokasi di sebelah, Rhea disorot banyak kamera ponsel. Karena terlanjur emosi, dia mengabaikan itu. Dia bahkan menahan amarahnya pada para Mikhaners yang masih saja bergosip walau berada di rumah orang lain.

Untung gue sabar. Kalau nggak, gue udah siram kalian semua pake air comberan. Rhea geram. Namun, dia tidak punya banyak waktu yang dihabiskan untuk meladeni fans-fans penguntit Mikha. Dia harus segera menenangkan diri dan kembali pada bukunya. Itu lebih penting karena dia harus bisa setara dengan kakaknya.

Arham, kakak cowok Rhea, tidak pernah gagal mendapatkan posisi teratas di angkatannya. Jika Rhea bermalas-malasan dan tidak menjadi yang terbaik, dia hanya akan dianggap produk cacat. Dia memang tidak memiliki kecerdasan kakaknya. Namun, dia tidak mau diremehkan oleh orang tuanya sendiri karena itu. Apa pun caranya, dia harus berhasil menunjukkan pada orang tuanya kalau IQ bisa digantikan usaha keras.

Sayangnya, karena terlalu terobsesi dengan nilainya, Rhea mengabaikan hal-hal sosial. Dia tidak paham bagaimana suara mayoritas bekerja dan dampak sebesar apa yang bisa terjadi jika menghujat seorang idola di hadapan fansnya. Fans setia yang dipersenjatai dengan ponsel bisa melakukan banyak hal. Sore itu, para Mikhaners merekam pertengkaran Mikha dan Rhea kemudian mengunggahnya di berbagai sosial media. Hanya dalam waktu satu jam, wajah Rhea sudah mengisi For You Page. Ketika Rhea menyadari apa yang sudah tersebar, semuanya sudah terlambat.

***

Ca Va AllerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora