AL

41 3 0
                                    

"Kau mau ngomongin apa, sih? Kelihatannya serius sekali." Carissa yang duduk di hadapan Al, mengangkat cangkir kopinya dari tatakan, sebelum menyesapnya.

"Mm..." Al berdeham. "Ada yang perlu kau tahu, Carissa."

"Apa?" Carissa mengerjap.

Al mempersiapkan diri dan berkata dengan lugas, "Aku sedang menantikan kelahiran anakku."

"Maksudmu?" Kening Carissa mengernyit.

Al mendenguk ludah. "Anak yang ada dalam kandungan Ella itu anakku."

"What?" Carissa terkejut. "Kenapa kau tidak cerita ini sejak awal?"

"Karena tidak ada yang tahu. Orang tuaku pun tidak tahu," tukas Al.

Carissa mencari jeda untuk bisa berpikir lebih jernih. Dia terlihat menarik napas dalam-dalam. "Jadi, Ella itu pacarmu?"

"Dia... surrogate mother. Aku dan istriku meminjam rahimnya." Akhirnya Al punya keberanian untuk mengungkap hal ini.

"Terus, kenapa dia tinggal bersamamu?"

"Karena dia sahabat istriku. Dia janda, punya satu anak. Hidupnya susah. Aku tidak mungkin membiarkan dia hidup sengsara, sementara ada anakku dalam perutnya." Al menatap Carissa, berharap perempuan itu mengerti.

Carissa kembali terdiam. Jemari lentik dengan polesan nail art cantik, mengetuk-ketuk badan cangkir. "Aku boleh bertanya?"

Al meneguk kopinya. "Sure. Soal apa?"

Carissa menatap Al makin lekat. "Kau mencintai perempuan itu?"

Kali ini Al yang tercenung mendengar pertanyaan itu. Lalu ia tertawa getir. "Jatuh cinta? Sama sahabat istriku? Aku pasti sudah gila, Carissa."

"Tapi kenapa aku merasa hatimu mengatakan sebaliknya?" Carissa kembali menyesap kopinya.

Al tidak menjawab lagi.

***

Momen itu datang.
Aku tahu tidak akan pernah menang.

Al datang ke sekolah Zoey bersama Ella dan Ben, menghadiri Winter Program. Di acara itu, Zoey akan tampil di depan aula sekolah bersama teman-teman sekelasnya.

Ketiganya memasuki ruangan yang sudah didesain warna-warni Natal dan dipenuhi furnitur imut. Terlihat orangtua sudah memenuhi sebagian kursi dan mereka tampak sedang ngobrol. Di depan aula, panggung sudah ditata.

Al menanggalkan mantel, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Ella, tetapi Ben bergerak lebih dulu membantu perempuan itu membuka baju hangatnya dan menggantung di rak. Ben meraih tangan Ella, mengajak bergabung dengan orangtua lain. Hal itu membuat hati Al panas.

Ketiganya duduk satu deret. Ella di tengah-tengah. Al di sisi kanan. Ben di sisi kiri.

Dari ekor matanya, Al melihat Ben bercakap-cakap dengan Ella. Sesekali mereka saling berbisik membicarakan seorang ibu yang duduk di sudut, lalu sama-sama terkikik. Mereka tidak tahu kalau Al memasang wajah masam.

Tidak lama kemudian, Winter Program dimulai. Tari dan nyanyian silih berganti dipertontonkan. Hingga tiba giliran kelas Zoey menari Snowflakes. Anak-anak berdiri berjajar mengenakan kaos hitam, celana dan rok kotak-kotak merah, cokelat, hijau, serta mengenakan bando tanduk rusa.

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now