ELLA

56 5 3
                                    

Ella sedang membaca buku ditemani segelas cokelat panas ketika bel apartemen berbunyi. Dia melihat ke arah pintu kamar Maura, sahabatnya sepertinya sedang mandi. Jadi, dia meletakkan buku di atas meja kopi dan beranjak untuk membukakan pintu.

Saat membuka pintu, Ella melihat Al. Lelaki itu tersenyum simpul. Dia tampak rapi dengan coat berwarna abu-abu dan syal senada. Al memang menawan dan sangat memperhatikan penampilannya. Rambutnya tidak pernah berantakan.

Benar-benar sosok tenang yang dewasa.

"Hai, El. Maura ada?" tanya Al.

Mendengar suaranya saja membuat jantung Ella serasa mau meledak. "A-ada," dia tergagap, lantas membuka pintu lebih lebar. "Masuk, Al. Maura sedang siap-siap."

Al pun melangkah masuk ke dalam apartemen. Dia membuka coat-nya dan menggantung di dekat pintu. Aroma parfumnya sangat khas, sangat disukai Ella.

Al dan Ella duduk di kedua sudut sofa. Mereka sama-sama terdiam. Sama-sama canggung. Jantung Ella berdegup sangat kencang. Dia bahkan terlalu takut mengangkat pandangannya.

"Kau suka baca novel?" Al meraih buku yang ada di meja.

Ella mengangguk. "Ya." Dia memberanikan diri menatap Al.

"Sukanya romance saja?" Al bertanya lagi.

"Tidak juga, sih. Buku-buku sejarah atau biografi, aku juga suka," sahut Ella.

"Seperti buku apa?"

"Mm... Abraham Lincoln atau Founding Brothers."

Al manggut-manggut. Dia membolak-balik buku yang tadi dibaca Ella, membaca sinopsis di bagian belakangnya.

Tidak lama kemudian, Maura keluar dari kamar. Dia yang sudah berpakaian rapi dan berdandan cantik, menghampiri Al. Memberikan kecupan di pipi pacarnya itu.

Ella meremas jemarinya. Entah mengapa ada terbersit rasa cemburu di hatinya. Sebuah perasaan yang tidak seharusnya ada, karena Al adalah milik Maura. Tidak akan pernah menjadi miliknya.

"Kami pergi dulu ya, El," pamit Maura sambil menggamit lengan Al.

Ella memaksakan sebuah senyum dan mengangguk.

Setelah pintu apartemen kembali ditutup, Ella menghela napas panjang. Benar apa kata Maura, dirinya selalu bernasib amsyong!

***

Waktu berjalan cepat. Tidak terasa, sudah enam bulan berlalu.

Hari ini, Ella memiliki janji bertemu dengan Maura dan Al di Le Cafe yang berada di Lexington Avenue. Ada hal penting yang ingin mereka bicarakan. Tidak tahu apa.

Pukul lima lewat dua puluh menit, Ella keluar dari galeri tempat bekerjanya di Brooklyn dan berjalan menuju stasiun bawah tanah. Saat itu bulan Juni yang hangat. Di persimpangan jalan, dia menunggu rambu lalu lintas memperbolehkannya berjalan, kemudian menyeberangi jalan.

Lalu, Ella pun turun ke dunia bawah tanah subway yang sumpek. Cahaya terlalu terang, udara menyesakkan dada, bau tidak enak menguar, orang-orang yang saling berdesakkan dengan wajah mereka yang tegang dan lelah—tanpa berkomunikasi satu sama lain.

Kereta penuh dan sesak. Tetapi kali ini Ella bersyukur mendapatkan tempat duduk sebelum keduluan orang lain. Ella berusaha melipat tungkainya ketika ada seorang laki-laki menjatuhkan tas kerja di atas kakinya dan meraih pegangan di atas. Itu sudah biasa terjadi.

Benak Ella memikirkan apa yang akan dibicarakan Maura dan Al dengannya? Apakah mereka akan menikah? Apakah mereka memutuskan tinggal bersama? Dia benar-benar penasaran.

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now