AL

75 5 5
                                    

Al tidak mengerti mengapa perempuan itu menarik perhatiannya. Secara keseluruhan, perempuan itu tidak lebih daripada noda kelabu kecil di antara aneka warna di Pasar Natal di Columbus Circle, New York.

Pasar yang terletak di sudut barat daya Central Park itu tampak hidup dengan aneka warna, aroma, dan suara. Sedangkan penampilan perempuan itu tampak berbeda. Tetapi tetap saja, perempuan itu menarik perhatian Al saat berdiri di dekatnya, di depan sebuah stan barang-barang keramik.

Perempuan itu tampak serius melihat-lihat guci kecil. Entah mengapa itu membuat Al tersenyum. Sepertinya hal itu membuat Al terpesona. Dan, membuat Al betah menatapnya lebih lama lagi.

Tinggi tubuh perempuan itu lebih pendek dari rata-rata perempuan Amerika. Rambutnya yang dikepang Perancis berwarna cokelat. Hidungnya bertulang tinggi. Saat berbalik setelah membayar guci kecil yang sedari tadi dilihatnya, Al bisa melihat bola matanya. Berwarna biru, memancarkan kecerdasan dan humor yang bagus. Sepertinya dia berdarah campuran.

Al mengikuti perempuan itu hingga ke dekat stan buku. Dia terus memperhatikannya sambil ikut mengambil sebuah buku, entah buku apa. Yang jadi pusat perhatiannya adalah perempuan itu, bukan buku.

Ketika ada seorang anak kecil melintas dengan cepat hingga menabrak punggung perempuan itu, Al terlambat bergerak. Beruntung perempuan itu tidak terjerembab, hanya membuat buku-buku berjatuhan. Segera saja Al menunduk membantunya.

"Hai," sapa Al sambil tersenyum. "Aku bantu ya?"

Perempuan itu ikut tersenyum dan berkata, "Ya. Thanks."

Sungguh, sebuah senyum paling manis yang pernah dilihat Al. Entah dari mana datangnya, muncul sebuah pemikiran dalam otak Al yang mengatakan kalau dialah orangnya. Tidak tahu apa maksud pikirannya sendiri.

Setelah selesai mengembalikan buku ke tempatnya, Al dan perempuan itu saling tatap. Mata mereka bertemu di udara tanpa kata-kata. Jantungnya seakan berhenti berdegup dalam sesaat.

"Aku harus pergi," ucap perempuan itu pada detik selanjutnya.

Al tersadar dari lamunannya dan lekas menunduk. Dia mengangguk-angguk. "Tentu saja."

"Terima kasih lagi."

Al mengangkat tatapannya ke arah perempuan itu. Sepasang mata itu lagi-lagi membuatnya membeku. "No problem. Bye."

Al pun melangkah pergi. Namun, dalam beberapa jenak, dia menyadari kebodohannya tidak menanyakan nama dan nomor telepon. Akhirnya, dia menolehkan kepalanya lagi ke belakang. Ternyata perempuan itu sudah menghilang.

***

"Ma, kayaknya nggak perlu deh jodoh-jodohan zaman sekarang. Al bisa, kok, cari jodoh sendiri." Al bicara sambil mondar-mandir di dalam apartemennya. Ini sudah kesekian kali ibunya menelepon untuk membahas soal perjodohan.

Daria, ibu tiri Al, menghela napas di seberang. "Mau sampai kapan kamu melajang, Al? Kalau kamu punya istri, kan, enak. Ada yang urus kamu."

"Walaupun masih sendiri, Al bisa urus diri sendiri, kok." Al berkeras dengan pendiriannya.

"Al, dengerin Mama ya. Mama nggak minta kamu langsung menikah sama Maura, kok. Mama cuma mau kalian kenalan. Kalau kalian memang cocok, ya silakan lanjut. Kalau nggak, ya Mama nggak akan maksa. Oke?"

Al menatap keluar jendela apartemennya. Maura. Perempuan yang akan dijodohkan dengannya bernama Maura.

Di benaknya justru terbayang perempuan yang ditemuinya belum lama ini di Pasar Natal. Dia sadar, kalaupun dirinya menginginkan perempuan itu, dia tidak tahu harus mencarinya ke mana.

"Oke, Ma." Akhirnya Al membuat keputusan.

"Makasih, ya, Nak," ucap Daria sebelum mengakhiri percakapan.

Al menurunkan ponsel dari telinganya. Matanya tidak lepas menatap pemandangan malam New York di luar. Pantulan bayangan perempuan itu belum juga hilang.

Bel apartemennya berbunyi. Al sudah bisa menduga siapa yang datang. Pasti Ben.

***

Al dan Ben saling mengenal saat sama-sama kuliah di Chicago University jurusan bisnis. Mereka berasal dari keluarga yang benar-benar berbeda secara karakter, tetapi tidak terpisahkan sejak saat itu.

Keluarga Al sangat terbuka dan ekspresif. Ayahnya adalah seorang diplomat yang sejak kecil mengajak keluarganya pindah dari satu negara ke negara lain. Ibu kandungnya sudah meninggal saat Al masih kecil, lalu ayahnya menikah lagi dengan perempuan bernama Daria. Al mempunyai seorang kakak kandung bernama Zayn dan saorang adik tiri bernama Vega. Ketiganya tinggal di negara berbeda. Zayn menetap di London bersama istri dan anak-anaknya. Al sendiri memilih menetap di New York. Dan, Vega sedang kuliah S2 di Malaysia.

Berbeda dengan keluarga Ben yang penuh tuntutan. Bahkan, Ben tidak suka jurusan bisnis sebenarnya. Itu hanya keinginan ayahnya agar Ben bisa meneruskan bisnis. Diam-diam dia mengambil double major, jurusan arsitektur, mimpinya. Ayah Ben orang Kanada, ibunya berdarah Amerika - Indonesia. Tapi, perawakan Ben bule banget. Tinggi. Tegap. Rambutnya cokelat keemasan. Sering gonta-ganti pacar.

Di luar semua itu, Al dan Ben adalah sahabat yang kompak. Al yang menjawab telepon dari perempuan yang mengejar-ngejar Ben. Sedangkan Ben selalu ada saat Al terpuruk. Mereka saling mengisi.

"Kau kenapa?" tanya Ben setelah meneguk bir dari kaleng.

"Ibuku memaksa menjodohkanku," kata Al. "Katanya, sih, cuma mau ngenalin saja."

Ben menanggapi santai. "Ya sudah, kenalan saja. Jangan selalu berpikir negatif sama orang. Belum tentu mengikuti keinginan orang tua itu buruk."

"Cih!" dengus Al. "Aku tidak perlu menjabarkan seberapa sering kau mengeluh soal ayahmu yang banyak mau, kan?"

"Itu berbeda," sahut Ben. "Orang tuamu baru kali ini meminta, kan? Kalau orang tuaku setiap hari."

Al mendesah pelan. "Iya, sih. Terus, menurutmu, aku harus menemui perempuan itu?"

"Temui saja. Memangnya kau takut apa, sih? Wajahnya seperti monster?" ledek Ben.

Al tidak menjawab. Dia meneguk birnya. Lagi-lagi, perempuan di Pasar Natal itu muncul di pikirannya.

***

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now