"Iya bu, aku obatin luka adek dulu ya takutnya kalau ga di obatin lukanya bisa infeksi apalagi luka di wajah adek kali ini lebih banyak," sahut Aletta yang diangguki mantap oleh ayah dan ibunya.

Setelah itu, si cantik pun berlalu. Kini di ruang tamu utama hanya ada ayah Gibran, ibu Nadine, Alaska dan si kacil Orion.

"A-ayah.." panggil Orion lirih dengan tatapan sendunya pada sang ayah.

"Kacil," Gibran berjalan menghampiri sang anak.

"YA AMPUN ORION!" Alaska memekik saat tubuh sang adik meluruh ke lantai. Beruntunglah Gibran yang sudah mendekat pun langsung dengan sigap mengambil alih tubuh kecil anaknya yang ambruk. Melihat itu, Nadine pun ikut mendekat.

"Ya ampun kacil!"

"Eungh.. a-ayah.."

"Iya ini ayah," Gibran menggendong tubuh sang anak ala bridal style lalu dengan cepat membawa tubuh lemah sang anak menuju kamarnya di ikuti oleh Nadine dan si sulung Alaska yang terlihat khawatir.

"A-ayah, s-sakit.. eungh," rintih Orion seraya meremat lengan kemeja sang ayah dengan kuat, juga satu tangan lainnya yang meremat area dadanya sendiri.

"Bentar lagi kita sampai, kacil tahan dulu ya nak."

Sesampainya di lantai 2 dengan menggunakan lift, tanpa menunggu lama lagi Gibran langsung berlari kecil menuju kamar sang anak. Alaska pun dengan sigap membantu membuka kan pintu kamar adiknya. Lalu dengan perlahan Gibran pun menidurkan tubuh lemah sang anak di atas ranjang.

"Eungh.. s-sakit hah..hhh.." Orion menggeliat tak nyaman dengan rasa sakitnya yang terus menghujam dada kirinya. Keringat dingin pun masih terus mengalir, wajahnya kian memucat serta bibirnya yang semakin membiru membuat kedua orang tua dan kakak sulungnya yang melihat itu pun luar biasa khawatirnya.

"Sabar sebentar ya sayang."

Gibran memasangkan oximeter pada jari telunjuk sang anak untuk melihat kadar oksigen yang ada di dalam tubuh anaknya. Setelah itu, ia memakainya masker oksigen pada sang anak setelah mengatur kadar oksigen pada tabung oksigennya agar anak kecilnya itu tidak kesulitan dalam mengambil napas.

"Eungh, s-sakithh hah.. hhh," setiap helaan napas dan rintihan dari Orion terdengar begitu menyakitkan bagi mereka.

"Mas siapin injeksinya," titah Gibran pada si sulung.

Alaska mengangguk paham, lalu bergerak cepat membuka laci nakas di samping ranjang yang memang di laci nakas tersebut berisikan obat-obatan atau peralatan medis yang memang di butuhkan oleh Orion saat dirinya collapse seperti ini. Nadine sendiri sebagai ibu hanya bisa menangis dalam diam, tangannya pun tak berhenti mengurut pelan area dada kiri sang anak, berharap rasa sakit yang sang anak rasakan berangsur-angsur hilang.

"S-sakit bu, eungh hah..hhh.." lirih Orion di balik masker oksigennya di iringi dengan air matanya yang mengalir.

"Iya sayang sakit ya? Nakal ya jantungnya buat anak ibu kesakitan. Sabar ya nak, ini ibu udah usap dada kacil, sebentar lagi sakitnya pasti hilang, kacil tenang ya sayang," ucap Nadine seraya menyeka air mata sang anak dengan lembut, tak lupa ia juga berusaha menunjukan senyum manisnya padahal saat ini perasaannya tengah di selimut oleh rasa gelisah dan khawatir, pun begitu dengan pikirannya yang tengah terbagi dua karena disisi lain Nadine pun memikirkan kondisi sang anak bungsunya.

"Yah ini obatnya!" Alaska menyodorkan sebuah suntikan yang sudah terdapat cairan obat di dalamnya dengan dosis yang sesuai, yang sudah di anjurkan oleh dokter ketika sang adik kambuh seperti ini.

"Makasih mas," Gibran meraih suntikan tersebut, lalu menyuntikan nya pada lengan sang anak.

"Eungh.. hah, hhhh.. s-sakit.."

•What If Orion & Rigel Live Together•जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें