Bagian 2: Keberangkatan

90 17 0
                                    

[ Selasa, 2 Juni 2001 ]

Manaf turun dari mobil sang Ayah yang mengantarnya menuju stasiun Pasar Senen. Ia dan teman-temannya memang langsung bertemu di stasiun untuk berangkat menuju kota Malang.

"Kalo udah sampe di stasiun langsung kabarin Papa."

"Iya, kalo ada wartel nanti Manaf telepon. Manaf berangkat ya, Pah."

"Hati-hati."

Manaf segera masuk ke stasiun dan mencari titik kumpul teman-temannya. Matanya melihat 4 orang remaja yang sudah berpenampilan khas pendaki yang berkumpul tak jauh dari pintu masuk peron.

"Gue telat?" tanya Manaf.

"Kalo lo telat udah kita tinggal. Udah, ayo masuk." sahut Surya.

Kelimanya berjalan menuju peron 3 di mana kereta yang akan mengantar mereka menuju kota Malang sudah hampir tiba. Seperti kebanyakan penumpang, mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bercanda.

Gerbong yang mereka naiki bernomor 7A. Harva duduk dengan Andika, Manaf dengan Nanta, dan Surya duduk dengan penumpang lain di kursi sebelah kanan Harva.

Tidak ada obrolan yang berarti selama perjalanan di dalam kereta. Manaf sesekali menoleh ke belakang, memastikan Surya, Harva, dan Andika baik-baik saja.

Ia melihat Harva yang sedang memejamkan mata sementara Andika tengah membaca sebuah buku tentang pendakian gunung.

Harva yang peka bahwa ada yang sedang memperhatikannya perlahan membuka matanya. Kepalanya bergerak satu kali mengangkat dagu, memberi kode pertanyaan "Kenapa?" pada Manaf yang masih menatapnya dari kursinya.

Yang di beri kode hanya menggeleng dan kembali ke posisi awalnya. Berusaha menikmati waktu di perjalanan jauh yang baru pertama kali ia tempuh tanpa keluarganya.

"Ssst ... Andika,"

Manaf menoleh ke arah Nanta yang memanggil Andika lewat celah kursinya di dekat jendela.

"Kenapa?" bisik Andika agar tidak mengganggu penumpang lain.

"Pindah sama gue sini, kita diskusi soal pendakian besok."

"Gak diskusi nanti aja?" tanya Andika.

"Nanti kapan? Kita nyampe Malang 'kan langsung ke basecamp."

"Yaudah deh. Man, tukeran sini."

Manaf hanya mengangguk dan bertukar tempat duduk dengan Andika. Kini ia duduk di samping Harva yang sudah pulas tertidur. Senyum tersungging di wajahnya, melihat sahabat sejak kecilnya itu memang mudah sekali untuk pulas jika tubuhnya sudah rileks meski dalam posisi duduk yang lumayan tegak.

Kepala Manaf menoleh ke sebelah kiri, menatap jendela kereta yang penampilkan gulir pemandangan di luar sana yang cukup memanjakan matanya. Atap rumah warga yang bersanding dengan lapangan hijau juga pepohonan yang di dominasi pohon pisang, pemandangan yang jarang ia lihat karena luar kota paling jauh yang pernah ia datangi adalah Bandung dan Bogor, kota kelahiran kedua orang tuanya.

Dari jarak yang sangat jauh, Manaf melihat siluet sebuah gunung yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Ia jadi memikirkan bagaimana berada di dalam sana, meski kenyataannya kemungkinan besar besok ia dan teman-temannya juga akan merasakan.

Ia belum pernah pergi ke alam liar. Ada berbagai hal yang ia pikirkan dalam benaknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ia sedikit takut. Katakanlah ia pengecut, tapi berada di tengah hutan di sebuah gunung adalah sesuatu yang cukup menimbulkan rasa tak nyaman di hatinya meski ia berusaha menekannya.

"Bengong?"

Manaf menoleh dengan cepat saat suara serak Harva masuk ke telinganya. Ia lihat pemuda itu nampak masih mengantuk, matanya sayu menatap ke arahnya.

SEMERUUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum