1

3.4K 213 47
                                    


"Jangan lupa sarapan. Ibu sudah siapkan nasi dan kimchi. Cepat bangun dan sekolah! Haechan, kau bisa terlambat jika tidak segera bangun!"

Haechan merenung dalam berbaringnya. Kerai dari rotan yang tersusun rapi itu dipasang untuk menutupi jendelanya, menghalau sinar redup matahari agar tidak menembus kamarnya. Fajar bahkan baru terlewat, dan ibunya sudah berceloteh sepanjang itu, seperti ingin mengalahi cerewetnya kokokkan ayam di teras rumah tetangga.

"Ibu berangkat! Bangun, Haechan! Kau bisa terlambat jika terus bermalas-malasan seperti itu!"

Haechan tidak pernah mengolok ibunya, akan tetapi untuk kali ini ia ingin melakukannya. Dasar radio rusak!

Lagipula, apa menyenangkannya sekolah?

Ini adalah monolog yang tidak akan pernah bisa mendapatkan jawaban seandainya ia memiliki waktu untuk menanyakannya kepada sang ibu. Malah hanya akan berujung menjadi dialog tumpul sebab sang ibu tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali, membaca pun tidak becus.

Wanita tua yang sejak kecil hanya tahu cara mencari uang dengan pisau tajamnya. Tukang jagal daging. Pensil, pena mau pun buku bukanlah gawainya. Yang ibunya tahu hanyalah bagaimana memenggal kepala binatang, bagaimana amis dan pekatnya aroma darah segar dari binatang yang habis dipenggalnya, dan bagaimana sensasi ketika memotong serta memisahkan bagian-bagian daging berdasarkan kelas serta harganya...

Seandainya Haechan bisa memilih, dia sangat ingin memiliki keahlian seperti ibunya...tapi bukan untuk menjagal kepala binatang.

"Minggir! Kau menghalangi jalan saja, dasar gendut!"

Haechan tersentak dengan suara itu, ia mengepalkan tangannya erat, meremat sesuatu yang ia bawa dalam genggamannya sembari perlahan mulai mengambil langkah untuk menepi, memberi jalan kepada orang yang habis meneriakinya. Sepasang kaki melangkah mendahuluinya, keduanya terlibat dalam obrolan yang seru bersama dengan selingan tawa yang menurut Haechan terdengar sangat mengganggu.

Mengenaskan, dari tempatnya berdiri Haechan hanya bisa memandang, dan itu dalam keterdiaman, tanpa bisa berbuat apa pun, boro-boro berani membalas.

Sekali lagi, inilah hal yang selalu menjadi pertanyaan untuk Haechan.

Sebenarnya, apa indahnya sekolah?

Haechan menunduk, menatap pisau lipat dalam genggamannya dengan erat.

Sekolah?

Apakah dengan bersekolah dia bisa memakai pisau ini untuk melukai orang-orang yang sudah merundungnya? Seandainya benar begitu, maka Haechan akan setuju jika ada yang bilang bahwa sekolah itu menyenangkan.

Ya, seandainya dia seberani itu. Kenyataannya, kengerian mengenai kehidupan sekolah lebih dulu telah melenyapkan seluruh keberanian yang ia miliki.

Sekolah benar-benar sangat mengerikan. Mengerikan. Mengalahi teror macam hantu apa yang akan kau jumpai di bawah kasurmu saat kau kecil. Lebih mencekam dari segala kisah legenda urban yang pernah kau temukan di internet, karena ini berdasarkan kisah nyata, hal yang memang benar-benar dialaminya, jadi segala kengerian di internet tidak akan pernah ia anggap sebagai sesuatu yang sebanding.

"Selamat pagi, Jongos!"

Sapaan yang sudah tidak terdengar asing untuk Haechan. Ia menoleh dan sebuah tas terlempar kepadanya, ia dengan sigap menerima benda tersebut atau jika sampai benda itu menyapa tanah barang seujung kuku saja, tamatlah riwayatnya pada detik itu juga. Dia akan dipukuli habis-habisan, mendapatkan tamparan yang paling perih serta menyakitkan, tendangan yang jika dia adalah bola maka jala gawang mana pun akan langsung berhasil ia lubangi karena saking terlalu keras serta kencangnya tendangan yang ia dapatkan.

PANORAMAWhere stories live. Discover now