1

987 105 29
                                    

Cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tempat yang begitu kecil, begitu asing dan jauh dari jantung keramaian.

Cinta itu bisa datang secepat kilat bahkan tanpa aba-aba, membuat jantung berguncang dan tubuh meremang bagai tersengat listrik.

Cinta itu... sedingin suasana subuh di Puriwi Abang, sehangat susu jahe Puriwi Abang, dan menyakitkan ketika terjatuh di jalanan terjal Puriwi Abang.

»Puriwi Abang«

"Di mulai dari titik ini, Pak. Cakupannya baru untuk dua RT saja. Tadi Pak Mahun sudah koordinir dengan Bu Sa—"

"PAGI PAK KADES!!" atensi Namjoon berpindah, sapaan yang mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah teriakan itu membuat Namjoon menoleh, lantas tersenyum dengan lebar. Berdiri tegap setelah tadi sempat sedikit menunduk untuk membaca laporan dari salah satu perangkat desanya.

Seorang pria tua yang memanggil Namjoon berjalan mendekat, kedua tangannya menenteng anyaman keranjang belanjaan yang berwarna dominan hijau muda. Menampilkan gigi-giginya yang mulai terkikis karena usia, dua keranjang itu bagaikan tak berbobot pada kedua tangan tuanya.

"Pagi Pak Seno.."

"Pagi Pak Kades, Mas Mingyu," ulang Pak Seno menyapa ketika berdiri tepat di samping Namjoon yang langsung mendapat anggukan dari Mingyu. "Pagi pagi lho Pak Kades sudah kerja begini, sudah minum kopi belum, Pak Kades, Mas Mingyu?"

Mingyu tersenyum lebar lalu menggeleng kecil, "Yo belum nih Pak, belum sempat ke kantor, dari rumah langsung kesini, ini disuruh Pak Kades langsung terjun lapangan," guraunya melirik pada Namjoon.

Namjoon membalas dengan kekehan atas gurauan pagi dari Mingyu, "Mingyu saya langsung ajak buat mantau ini Pak."

"Duh bujang-bujang desa belum pada ngopi, mau saya buatkan Mas, Pak Kades?" tawarnya, rumah Pak Seno berada tepat di samping jalan utama di mana Namjoon dan Mingyu tengah melakukan pekerjaan.

Jika ditanya berapa skala keramahan warga Puriwi Abang, Namjoon berani memberikan rating yang sangat tinggi. Entah apa yang Tuhan anugerahkan pada warganya, tapi Namjoon rasa, setiap warganya memiliki hati nurani yang apik dan bersih. Tawaran lugu dari Pak Seno menghangatkan dada Namjoon yang kini tersenyum teduh.

"Terima kasih Pak Seno, nanti sebentar lagi ke Balai Desa, biar nanti minta buatkan kopi disana saja. Ngomong-ngomong Pak Seno baru dari pasar?"

"Iya Pak Kades, tadi nitip ke Pak Heru, ini baru saya ambil. Kan Pak Heru yang bawakan belanjaan saya, beli banyak, 'kan nanti malam mau itu, selametan anak keduanya Ningrum," ah benar, cucu Pak Seno. Anak pertama Pak Seno baru melahirkan seminggu yang lalu, menjadi kebiasaan umum untuk para warga merayakan kehadiran sosok baru di dalam rumah mereka.

Karena sudah menolak tawaran kopi, Pak Seno memaksa agar Mingyu mengambil jeruk yang ia bawa, awalnya Mingyu menolak tentu saja, namun paksaan Pak Seno tak dapat dirinya lalui. Bahkan ketika dirinya hanya mengambil dua (untuk Mingyu dan Namjoon), Pak Seno kembali merogoh keresek jeruknya, memberikan 10 buah pada Mingyu, "Untuk di kantor, seger-seger 'kan mata melek lho Mas."

Dan akhirnya Namjoon juga Mingyu hanya dapat mengalah, mengucapkan terima kasih dan menerima 10 jeruk dari Pak Seno. "Ngomong-ngomong ini sedang ada apa, Pak Kades?"

"Oh ini, mau pemasangan lampu tenaga surya Pak Seno."

"Yang apa itu Pak?"

"Yang tenaga listriknya dari matahari Pak. Nanti Pak Seno sudah tidak perlu repot-repot nyalain lampu lagi, nanti nyala sendiri Pak kalo sudah malam," jelas Namjoon dengan lembut dan dibumbui dengan senyuman manisnya yang meneduhkan jiwa.

Puriwi AbangWhere stories live. Discover now