Ponsel Raesha tiba-tiba berbunyi nada deringnya. Siapa yang -- oh ya ampun. Raesha baru ingat, semenjak kejadian insiden Sobri menerobos rumahnya, sampai detik ini dia belum sempat membaca semua pesan masuk di ponselnya. Baru balas pesan Kak Arisa saja.

Raesha terdiam melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya. Siapa kiranya? Sempat enggan mengangkat, Raesha akhirnya memutuskan mengangkat sambungan telepon itu.

"Assalamu'alaikum," sapa Raesha.

"W-Wa'alaikumussalam. Afwan, Ustadzah. Maaf mengganggu. Saya bukannya -- ah, sebenarnya saya sudah kirim chat tapi belum dibalas. Makanya saya --," ucap sang penelepon terdengar gugup maksimal.

Raesha mengernyitkan dahi. "Afwan, ini dengan siapa, ya?" tanya Raesha. Suara pria ini terdengar familiar, tapi dia lupa ini suara siapa.

Meski Yunan terkesan cuek di depan, sebenarnya telinganya terpasang dengan radar kuat.

"Saya Malik," jawab penelepon itu.

"O-ooh -- Ustaz Malik," gumam Raesha pelan, takut terdengar oleh Yunan tapi telanjur sampai ke telinga Yunan. 

"Iya. Afwan saya lancang. Begitu saya lihat berita di TV, saya khawatir sekali. Saya langsung tanya nomormu ke salah satu staf acara studio. Saya kirim chat, tapi saya maklum kamu pasti sibuk, karena saya dengar juga, ada saudaramu yang meninggal. Turut berduka. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Afwan saya tidak datang melayat, karena tidak tahu alamatnya. Saya cuma tahu alamat rumahmu saja."

"Ooh. Syukran, Ustaz. Tidak apa-apa. Kejadiannya cepat sekali soalnya. Afwan, saya tidak sempat kirim pemberitahuan bahwa Mbah saya meninggal dunia."

"Tidak apa-apa. Saya hanya ... khawatir saja. Gimana kondisimu sekarang?"

"Oh saya baik-baik saja alhamdulillah. Hanya memar kecil saja, Ustaz," Raesha tertawa tegang. Melihat dari cermin di depan sana, sorot mata Yunan nampak kurang bersahabat.

"Apa tidak sebaiknya ke dokter untuk periksakan lukanya? Takutnya ada luka dalam."

"Emm ... sepertinya tidak ada luka dalam, Ustaz. Hanya --"

Raesha menjerit saat tiba-tiba Yunan merampas ponsel miliknya.

"Kamu masih tidak paham yang kubilang waktu itu? Perlu berapa kali mengancammu untuk menjauhi Raesha?? Urusanmu dengan dia, hanya di studio TV saja. Tidak lebih dari itu! Paham?? Kamu tidak perlu repot-repot khawatir segala. Raesha tidak sebatang kara. Ada keluarganya yang mengurusnya. Jadi menyingkirlah!" omel Yunan terdengar tenang tapi galak.

"Kakak!!" protes Raesha yang memajukan posisi duduknya, berusaha merebut kembali ponselnya, tapi Yunan mengelak.

"Hoo. Kak Yunan ada di sana juga rupanya. Kurasa aku utang nyawa padamu. Syukran sudah menolong Raesha dari penjahat itu. Jazakallah kheir, Syeikh," ucap Malik, terdengar tulus bercampur kesal. Ucapan terima kasihnya tulus, tapi kesal karena percakapannya dengan Raesha disabotase. Pantas saja dari tadi suara Raesha terdengar tegang dan tidak rileks.

"Simpan terima kasihmu. Aku tidak butuh itu. Aku menolong Raesha memang sudah semestinya. Kamu yang tidak paham seperti apa hubungan kami. Dan aku tidak berharap kamu paham," tukas Yunan sinis. Jika tak ada Ismail dan Ishaq di sini, ingin rasanya dia meluapkan emosinya lebih keras lagi. Sekarang dia masih berusaha mengontrol nada suaranya.

Malik terdengar melengos. "Tidakkah ini sudah berlebihan? Ayolah, Syeikh Yunan. Aku tidak boleh menyampaikan ucapan belasungkawa dan menanyakan kabar Raesha setelah kejadian mengerikan itu?"

ANXI EXTENDED 2जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें