Elaine berubah cemberut. 'Kita' kenal? Om aja kali, yang kenal sama dia, batin Elaine.

"Kamu kenapa?" tanya Adli yang menyadari perubahan sikap Elaine.

"Gak apa-apa," sahut Elaine membuang muka ke luar kaca mobil.

Adli bengong. Kenapa, sih?? Aneh banget!

Hening setelahnya. Elaine tak berkata sepatah kata pun. Sementara Adli takut salah bicara.

"Elaine, aku salah ngomong apa?" tanya Adli lembut, rela merendahkan harga dirinya. Cuma Elaine yang bisa bikin dia seperti ini. Dia seperti memohon-mohon. Merajuk.

"Gak salah apa-apa," jawab Elaine dingin. Masih tak sudi menatap Adli.

Adli menelan saliva. Gak ngerti lagi, aku! Kenapa sih wanita itu rumit banget? batinnya dengan muka meringis.

Mobil Adli menepi di luar gerbang madrasah.

Begitu dibangunkan oleh Adli, Haya kembali ke mode ngambek dengan kakaknya. Dan sekarang, bertambah tim ngambek satu orang, yakni Elaine.

"Selamat belajar. Assalamu'alaikum," kata Adli tersenyum pada Elaine.

"Wa'alaikumussalam," sahut Elaine dan Haya sambil membuang muka.

Tampang Adli berubah kecut. Salamnya dijawab, sih. Tapi ketus banget.

Mobil Adli berlalu. Elaine tertunduk ke jalanan aspal. Ternyata dia salah dengar. Om Adli bukan memimpikan dia, tapi wanita yang namanya mirip dengannya. Elena. Mantan pacar Om Adli, yang katanya akan segera menjadi kuasa hukum keluarga mereka dalam kasus dengan Sobri.

Mata Elaine berkaca-kaca. Dia tahu, ini bukan urusannya. Terserah Om Adli, mau nikah sama siapa. Adli sudah melewati seperempat abadnya, usia dimana banyak orang seusianya mulai berumah tangga. Sementara dirinya masih anak remaja bau kencur.

"Kamu kenapa?" tanya Haya sambil menutup mulutnya saat menguap.

"Gak apa-apa, Tante," jawab Elaine memaksakan dirinya tersenyum.

Dalam hati, Elaine masih geram. Meski tidak punya ikatan spesial apapun dengan Om Adli, rasanya harga dirinya sebagai perempuan, terluka. Dari tadi Om Adli membahas mantannya terus. Elena si kuasa hukum itu.

Sebel!! Nikah aja sana, sama Elena! jerit Elaine dalam hati. Padahal jika Adli sungguhan nikah dengan perempuan lain, fix Elaine minimal bakal nangis kejer.

.

.

Sayang, nanti kamu insya Allah dijemput supir di bandara. Afwan aku gak bisa jemput kamu. Aku, Raesha dan anak-anak, harus ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Arisa membaca pesan dari Yunan itu, lalu membacanya ulang. 'Aku, Raesha dan anak-anak', katanya. Mereka terdengar seperti keluarga kecil yang kompak. Arisa menggeleng segera. Tidak. Dia tidak boleh membiarkan cemburu menguasai dirinya. Husnuzon, Arisa. Husnuzon, batin Arisa pada dirinya sendiri.

Iya gak apa-apa, sayang. Nanti kukabari kalau pesawatku sudah mendarat di Soetta, balas Arisa.

"Ustadzah." Suara Maryam di luar pintu.

"Ya, Maryam? Masuklah," sahut Arisa setengah berteriak, sebab ia sedang di dalam kamar mengurusi kopernya.

"Ada yang perlu dibantu, Ustadzah?" tanya Maryam membuka pintu. 

"Syukran. Tapi tidak perlu. Sudah selesai packing-nya," jawab Arisa sambil menggeret kopernya ke ruang tamu. 

"Rencana berapa lama di Jakarta, Ustadzah?" tanya Maryam lagi. Kalau melihat dari besarnya koper yang disiapkan Arisa, sepertinya sih lebih dari tiga hari, tebak Maryam.

ANXI EXTENDED 2Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz