Prolog

530 84 24
                                    


Jihoon duduk termenung sambil menatap keluar jendela cafe dimana ia berada sekarang. Bulir hujan yang menempel di dinding kaca transparan cafe membuat aliran air  mengaburkan pandangan ke arah luar cafe.

"Ayah.."

Suara lelaki kecil membuyarkan lamunan Jihoon membuat lelaki yang baru memasuki usia kepala tiga itu menoleh pada bocah kecil yang bukan lain adalah putra sematawayangnya, Park Roun.

"Kenapa sayang?" tanya Jihoon sambil mebersihkan sudut bibir jagoan kecilnya yang belepotan selai strawberry.

"Ayah sedih?" tanya lelaki kecil itu dengan tatapan polos pada sang ayah.

Jihoon menatap lamat mata bulat sang jagoan, mengingatkannya pada seseorang.

Jihoon menyunggingkan senyum tipis kemudian menggeleng, "Ayah nggak sedih. Kenapa Roun bilang gitu?" tanya Jihoon.

"Bibir ayah melengkung kebawah. Kata ibu guru disekolah kalau bibir melengkung kebawah itu wajah ketika sedang sedih" celoteh bocah kecil berusia 5 tahun itu sambil memperagakan bagaimana bibir yang melengkung kebawah, terlihat menggemaskan.

Jihoon terkekeh kecil, "Ayah tidak sedih sayang"

"Apa bunda yang sedih ya, Yah?" tanya Roun kemudian.

Mendengar kata bunda keluar dari mulut putranya membuat Jihoon meremang.

"Kenapa?" suara lirih Jihoon bertanya pada sang putra.

"Di dongeng yang dibacakan ibu guru ketika tidur siang di sekolah, jika hujan tiba berarti bidadari di langit sedang bersedih. Bunda kan tinggalnya di langit, apa bunda sekarang sedih ya?"

Celotehan bocah polos itu mampu mencubit kecil hati Jihoon.

Kata bunda yang keluar dari bibir putranya membuatnya kembali mengingat rupa seorang yang sangat cantik dengan mata bulat yang diwariskan pada putranya ini. Wanita yang disayangi oleh Tuhan, bahkan kasih sayang Jihoon tidak sebanding dengan kasih sayang Tuhan padanya sehingga wanita itu secepat itu kembali ke pangkuan penciptanya.

"Roun kangen bunda?" tanya Jihoon balik.

Roun menggeleng polos, "Bunda udah hidup bahagia jadi bidadari di langit. Kalau Roun kangen nanti bunda sedih karna gak bisa nemuin Roun, soalnya bunda gak bisa ninggalin langit"

Jihoon mengerjapkan matanya cepat, menahan desakan airmata yang entah kenapa semakin sesak rasanya ketika sang putra membicarakan tentang bundanya.

Wajah polos itu tampak tidak masalah membicarkan sang bunda yang bahkan tak bisa ia rengkuh lagi tubuhnya, yang tak bisa lagi menemani hari-harinya.

Namun Jihoon lah yang merasa nafasnya menyempit, rasanya sangat sesak mengingat mendiang sang istri, rasa penyesalan yang sungguh besar yang bahkan Jihoon tak tahu bagaimana harus menebusnya.

'Park Jeena, makasih udah melahirkan little miracle ini di kehidupan kita. Karena dia aku masih bisa waras, karena dia aku tahu tujuan hidup aku. Maaf aku belum bisa jadi suami yang baik, maaf aku ngecewain kamu bahkan hingga hembusan nafas terakhir kamu'

Tes!

Airmata Jihoon menetes tanpa bisa ia cegah.

Rasa penyesalan yang tak akan bisa ia tebus.

Dan satu pesan terakhir Jeena padanya yang membuatnya terngiang-ngiang hingga detik ini.

'Kamu harus cari 'dia'. Temui kebahagiaan kamu, Ji'











== TBC ==

GuardedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang