Kardjan

0 0 0
                                    

Kardjan lahir dari rahim seorang perempuan yg tak pernah dia ingat mukanya.

Yang pasti sang Ibu berasal dari kalangan desa sederhana. Begitu juga dengan Bapaknya. Mbah Ali, begitu orang meyebut nama laki-laki tua tersebut. Mbah Ali hanya memberikan nama singkat "Kardjan" tanpa tambahan nama akhir ataupun tengah, karena itulah hukum yg berlaku untuk rakyat jelata saat itu. Nama yg berpanjang-panjang adalah hak dari seorang priyayi ataupun para bangsawan. Adalah hal terlarang rakyat jelata untuk memilih nama yg mentereng. Cukup satu baris nama, dan sederhana saja.

Orang tua Kardjan berasal dari daerah pedesaan subur di sebuah Kabupaten yg dahulu merupakan bagian wilayah dari Karisidenan Kedu Jawa Tengah. Sesudah Indonesia merdeka, wilayah tersebut menjadi Kabupaten mandiri, Kabupaten Wonosobo.

Terletak di dataran tinggi dan diapit oleh beberapa gunung menjadikan Wonosobo sebagai sebuah daerah yg subur dan hampir tidak mengenal musm kering. Air mengalir sepanjang waktu. Sawah-sawah tak henti-henti mengeluarkan bulir padinya.

Ayah Kardjan, Mbah Ali, hanya menamatkan sekolah sampai kelas 2 Sekolah Rakyat. Sekolah ongko loro, begitu orang-orang menyebutnya saat itu.

Tak jelas bagaimana ceritanya, walaupun hanya mempunyai ijazah sekolah ongko loro, Mbah Ali bisa menjadi pegawai negeri. Walaupun hanya kelas yang terbawah, pesuruh kantor.

Kardjan terlahir sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya seorang laki-laki lembut yg kemudian menjadi seorang guru, dan mati muda meninggalkan 5 orang anak yg masih kecil-kecil.

Kardjan sendiri memiliki watak yang bertolak belakang dengan kakaknya. "Ngeyel", begitu orang-orang mengingatnya. "Sombong", begitu kata yg lain ketika mengomentari masa ketika Kardjan sudah menjadi pegawai negeri.

Entah hasil dari keturunan ataupun akibat kurangnya gizi saat kecil. Kardjan tumbuh dengan badan yg relatif kecil dibanding laki-laki sebayanya. Walaupun kecil tapi kenekatannya agak luar biasa. Karena tanpa kata nekat, Kardjan tak akan pernah menjadi dirinya yg sekarang ini.

Semenjak yang Kardjan ingat, bapaknya jarang terlihat di rumah. Karena kalau tidak sedang bekerja, bapaknya akan sibuk berkeliling mencari tempat keramaian di seputaran kabupatennya.

Saat itu hampir setiap perhelatan akan diisi juga oleh acara tayuban dan main kartu. Kartu ceki, istilah saat itu. Mbah Ali adalah penggemar berat kartu ceki. Bisa bermalam-malam dirinya menghitung, mengintip dan melemparkan kartu ceki dengan teman-temannya. Dari meja kartu ceki itu pulalah Mbah Ali bisa mendapatkan istri baru sebagai pengganti istri pertamanya yg telah meninggal saat Kardjan kecil. Seorang istri baru yang mempunyai langkah seirama  dalam menjelajahi tiap perhelatan dan mencari meja dimana terdengar suara kartu dibanting.

Dalam suasana seperti itulah Kardjan menjalani hari-harinya. Berdua dengan kakaknya, berjibaku untuk bisa mengisi perut mereka tiap hari. Beruntung mereka tinggal di sebuah desa dimana sanak kerabat mengelilingi rumah mereka. Sebuah hal yang lumrah pada waktu itu, ketika orang sedesa hampir berasal dari akar yang sama.

Karena semua saudara sudah mahfum dengan perangai Mbah Ali, maka Kardjan dan saudaranya menjadi tanggung jawab bersama. Saat ditinggal pergi berhari-hari Kardjan akan mulai menggilir rumah saudara satu demi satu untuk mencari sarapan maupun makan malam. Hingga semua keluarga besar sudah hapal. Ketika Kardjan mengetup pintu mereka, itu berarti Mbah Ali sedang sibuk dengan strategi kartunya entah dimana.

Perkara makanan bisa distrategikan. Tetapi urusan sekolah menjadi hal yg memberatkan kepala. Saat itu orang sedesa mempunyai wacana yg nyaris sama. Sekolah bukanlah bagian dari hidup mereka. Sekolah adalah hak kaum priyayi, karena semua urusan berkutat dengan sawah dan ladang tidak membutuhkan sekolahan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 23, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Debu NasibWhere stories live. Discover now