"Sebenarnya kalau nggak suka, Pak Saka nggak perlu maksa—"

"Gue mau."

Samara mengatup bibir dengan kerjapan mata menahan senyum.

"Pikirkan aja gimana cara gue membayar lo," bisik Saka beberapa detik sebelum Simon tertawa kencang seperti setan kesurupan, gara-gara mendengar cerita Tante Tika tentang tetangga mereka si Bu Erni yang terpeleset kotoran anjingnya sendiri.

Setelah kue manju-nya habis, Tante Tika mengatakan malam masih pagi dan mereka sebaiknya lanjut ke sesi karaoke. Simon setuju. Katanya, di dekat sini ada tempat karaoke yang sering ia kunjungi setiap kali pulang mabuk sampai teler. Ruangannya besar dan kedap suara, privacy terjamin aman, karena terbukti setiap kali ia membawa pacarnya yang aktor beken itu, tidak pernah ada yang tahu.

Mereka baru saja hendak beranjak dan Saka sedang membayar bill, lalu datanglah Odi.

Kampret.

Odi Adiyatama hadir tiba-tiba dengan jas kerjanya yang rapi dan senyuman karismatiknya yang sangat khas anak baik-baik. Kehadirannya tentu saja langsung disambut meriah oleh Simon dan pasangan Tante Tika-Om Hendro. Tampaknya, semua orang menyukai Odi. Mungkin aksi hari pertama perkenalannya sambil membawa apple pie itu sukses besar, atau mungkin pria itu memang sosok yang pandai mengambil hati orang.

"Hei, Simon," Odi bertukar jabat tangan dengan Simon yang sudah sumringah. "Sori banget nggak bisa dateng ke pameran lo, gue udah coba tapi kerjaan di kantor nggak habis-habis. Denger-denger, pamerannya sukses luar biasa?"

Simon mengatakan 'akh, kamu bisa aja' sambil terkekeh malu.

"Baru pulang dari kantor, Di? Ayo, makan dulu. Mau pesen apa? Kami temenin kamu makan." Bahkan Om Hendro terlihat seperti menyayangi anak sendiri.

"Saya udah makan, Om. Saya sengaja mampir ke sini buat ikut ngumpul-ngumpul aja. Gimana makanannya? Kalian suka? Restoran ini restoran langganan saya dan Samara. Banyak kenangannya."

Saat Odi mengatakan 'banyak kenangannya', nada suaranya seakan ingin semua orang bertanya.

Tentu saja mereka bertanya.

"Ini tempat kencannya saya dan Samara waktu kami pertama kali jadian."

"AAAAAWWWWWW~~" Simon melengking nyaring.

"Saya masih inget banget, saya keringet dingin duduk di sini—meja yang sama persis dengan ini—dan gugup nggak bisa bicara. Saya cuma nunduk liatin makanan saya karena saya tahu kalau saya natap mata Samara, saya bakal nggak bisa noleh ke tempat lain lagi. Gitu amat ya, rasanya jatuh cinta?"

"Emang boleh setega ini bikin gue iri?!" protes Simon.

Tante Tika mendecak-decak gemas dan Om Hendro mengangguk dengan tatapan kagum.

Saka? Ia ikut tersenyum haru dan segera bangkit berdiri untuk mempersilakan Odi mengambil tempat duduknya di samping Samara.

Tapi bohong.

Saka menekan enam nomor PIN kartu kreditnya, membayar bill dengan ekspresi datar seperti biasa.

Samara lah yang pertama berdiri karena sadar sang suami kebingungan mencari tempat duduk, lalu Tante Tika ikut berdiri dan pindah ke samping Saka, untuk mempersilakan Samara dan Odi duduk di sana.

Tapi Samara mengucapkan terima kasih dan mengatakan mereka akan pulang sekarang. Simon meneriakkan 'cieeeee~ mau asoy geboy, cieeeeeee~' dan ekspresi khas anak baik-baik Odi berubah sumringah seperti malu-malu babi.

"Kalau mau teriak, teriak aja ya cyiiiiiin~ mumpung eike belom pulang, nggak ada yang denger di balik tembok~" Simon mengikik mengiringi kepergian pasangan suami istri itu meninggalkan resto.

AmbrosiaWhere stories live. Discover now