"Eh? Hmm, 'bapak'." Andri gonta-ganti memandangi mereka dalam bingung.

"'Aku', atau 'saya'?" tanya Samara lagi.

"Hmmm ... 'Anna'. Tapi kalau Bayu biasanya pake 'aku'."

"Saya panggil Pak Andri dengan apa?"

"Mas."

"Lalu, nama anak kami Alisa?" Samara menunjuk dirinya dan Saka.

"Iya betul. Alisa."

Samara mengangguk singkat, Andri melirik Saka meminta penjelasan, dan Saka mengangkat bahu menandakan ia tidak tahu apa-apa. Toh, ia hanya datang karena merasa tidak enak pada Samara.

"Pak Saka sebenarnya nggak perlu datang," bisik Samara sebelum membuka pintu.

"Kebetulan doang tempat latihan gue deket sini," jawab Saka sambil membukakan pintu untuk Samara.

Perasaannya saja, atau Samara terlihat menahan diri untuk tidak tertawa.

Di dalam kamar berukuran sedang dengan jendela kayu terbuka itu, Pak Jaya duduk di kursi rotannya, menatap kosong pada pohon rindang di depan jendela. Aroma kayu tua bercampur minyak gosok, menyeruak saat Saka membawa dirinya masuk ke dalam.

Pak Jaya menoleh, tampak terkesima melihat kedatangan yang tak terduga itu.

Samara lah yang pertama menghampirinya, menyapanya dengan 'bapak' dan menanyakan apa yang sedang Bapak lakukan.

Pak Jaya menjawab ia hanya sedang melamun, beberapa menit lalu sudah makan kenyang dan bermain catur dengan Pak Adil. Sekarang sedikit mengantuk. Tak lupa Pak Jaya menanyakan apakah Anna sudah makan.

Samara menjawab sudah, lalu duduk merapat di samping Pak Jaya, menggenggam tangan keriput itu dengan erat.

Saka mendengarnya berujar, "Habis ini, Anna mau pamit."

"Ke mana, Na?"

"Anna dan Bayu," Samara menoleh ke tempat Saka. "Mau pergi ke tempat yang jauh, bakal lama sekali meninggalkan Bapak. Alisa juga ikut. Kami semua mau pamit."

"Kapan kalian pulang?"

"Kami nggak akan pulang."

Ekspresi Pak Jaya mulai berubah. Manik-manik air membayang di kelopak matanya. Bibir yang terbingkai kumis putih itu pun tergagap. "Bapak mau ikut."

"Bapak di sini," jawab Samara tenang.

"Enggak. Bapak mau ikut!"

"Bapak, Bapak di sini jaga Mas Andri. Mas Andri masih butuh Bapak. Tugas Bapak menjaga saya dan Mas Bayu sudah selesai, sekarang, kami mau pamit. Bapak mau mengucapkan perpisahan buat kami?"

Pak Jaya menggeleng-geleng cepat. "Enggak!" Tangisan pecah dari bibir tua itu, keras dan penuh keputusasaan. Dicengkeramnya tangan Samara kuat-kuat sambil terus menggeleng.

Tidak ada reaksi berlebihan yang dilakukan Samara. Seakan tidak ada lagi yang membuatnya terkejut, baik penolakan Pak Jaya maupun tangisan dan cengkeramannya yang sarat penyangkalan. Seakan perempuan itu sudah tahu semua ini akan terjadi.

Dan ia hanya menunggu. Samara hanya menggenggam tangan tua itu dan menunggu dengan sabar.

Saka ingin berbalik meninggalkan kamar. Mungkin berkunjung memang bukan ide baik. Buat apa ia menonton semua ini? Untuk menambah beban pikirannya? Untuk membayangkan bahwa inilah yang harus ia lakukan pada Ibu? Seharusnya sejak awal ia memilih tidak peduli seperti yang selama ini telah ia lakukan setiap Pak Jaya muncul di depan rumahnya.

"Maafin Bapak, Na," Pak Jaya menunduk gemetar di atas genggaman tangan mereka. "Bapak nggak sempat menuhin janji Bapak bawa kalian ke Bintan. Bapak egois, nggak mau kalian pergi. Bapak mau kalian pulang. Pulang cepat. Kita berkumpul lagi dan Bapak janji akan selalu ada buat kalian. Bapak kangen dengar cerita kamu, kangen lihat Alisa tidur sama bonekanya, kangen minum kopi buatan Bayu. Kenapa kalian nggak pulang, Nak? Sejauh apa kalian harus pergi? Bapak mau tunggu kalian pulang."

Ambrosiaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن