Get To Know You Better

Start from the beginning
                                    

    "Iya. Gue izin masuk setengah hari," jelas Laisa.

    "Kenapa nggak izin langsung sehari aja?" cecar Fani.   

"La, sudah makan siang?" sela Gavin buru-buru. Dia bahkan sengaja menyenggol Fani dalam usahanya untuk keluar dari ruangan. "Gue mau turun ke kantin. Bareng, yuk?"

    Gavin bisa merasakan tatapan dari balik punggung, tetapi dia menatap Laisa tanpa ragu. Sayang, Gavin lupa bahwa dia memiliki teman dengan rahang paling enteng sejagat raya.

    "Gav! Itu nasi sama ayam bakar yang barusan dimakan ke mana?" tanya Fajar lantang. "Masih belum kenyang lo?"

    "Si Gavin mah cacingan!" Adnan menambahkan penuh semangat.

    Laisa mengerutkan kening, tampak bingung. Sedangkan Gavin menggamit siku Laisa dan membawa gadis itu pergi secepat mungkin.

    "Jadi, lo sudah makan?" tanya Laisa.

    Gavin menggeleng. Dia menekan tombol turun untuk lift dengan tenaga yang tidak perlu, padahal tombolnya pun sudah ditekan oleh orang-orang yang berada di depan lift.

    "Lo kok aneh banget, sih?" Laisa menarik sikunya dari tangan Gavin, tidak nyaman dengan tatapan orang-orang sekitar. Dia teringat pada cerita Jana tentang kepopuleran Gavin. "Kenapa tadi narik gue pergi? Teman-teman lo juga aneh. Kalian kenapa?"

    Pertanyaan itu tidak dijawab, apalagi pintu lift terbuka dan keduanya masuk bersama banyak orang lainnya. Bukan ide bagus untuk berbicara tentang masalah pribadi di tempat seramai itu.

    Laisa mengikuti langkah Gavin menuju kantin di basemen kantor. Dia belum makan siang karena saat berangkat sibuk menyetrika kemeja Gavin agar bisa dia kembalikan. Kalau terlalu lama dibiarkan mengendap di rumah, bisa-bisa dia disangka menjadikan kemeja Gavin hak milik lagi.

    "Mau makan apa?" tanya Gavin.

    "Ayam bakar," jawab Laisa seraya menghampiri etalase bertuliskan menu tersebut. Bapak paruh baya yang Laisa kenali sebagai Pak Taufik menyambut dengan cengiran lebar.

    "Biasa, ya, Mbak Laisa?" tanyanya.

    Laisa mengangguk. "Sambalnya banyak, ya, Pak."

    "Siap, Mbak."

    Tanpa menunggu Gavin—karena pria itu sudah makan menurut teman-temannya—Laisa beralih membeli es teh, lalu dia duduk di salah satu kursi kantin. Jam makan siang akan segera berakhir, jadi tidak sulit menemukan tempat kosong.

    "Do you wanna tell me what it was all about?" tanya Laisa begitu Gavin menempati kursi di hadapannya.

    "What?" balas Gavin dengan wajah polos.

    Laisa mendesah. "Lo dan anak-anak TAR ngomongin gue, kan? Undangan Rama sudah sampai di kalian?"

    Kini, Gavin tidak bisa mengelak, maka diam yang dia pilih sebagai jawaban. Untungnya, pesanan Laisa sampai di meja, memberikan Gavin waktu untuk memikirkan respons. Laisa pun makan dengan lahap, tidak mengajak Gavin bicara lagi. Gadis itu terlihat begitu menikmati sepiring ayam bakar dengan ekstra sambal ditambah es teh. Gavin yang sudah makan saja merasa tergoda untuk memesan hidangan sama.

    "Teman-teman lo," ucap Laisa. "Ngomongin gue, ya?"

    Gavin mengangkat bahu. "Mau ngamuk ke mantan lo, lebih tepatnya. Mereka sepeduli itu sama lo ternyata."

    Laisa mencoba tersenyum, tetapi terlihat menyedihkan. Fani benar, seharusnya dia izin satu hari penuh. Masalahnya, Laisa hanya akan menangis tanpa henti jika dibiarkan seorang diri. Dia berpikir dengan pergi ke kantor, berusaha beraktivitas seperti biasa, maka kesedihan akan luruh dengan sendirinya.

    Sayang sekali kenyataan tidak pernah semudah itu.

    "Lo mau datang ke acaranya?" Gavin bertanya kemudian. Nadanya santai, meski begitu Laisa merasa seperti ditampar.

    "Are you insane?" balas Laisa. Nadanya meninggi.

    Gavin mengangkat kedua tangan. "Sorry. I didn't mean.... What I meant was you need closure. This is not how you end an eleven-year relationship."

    "He was the one who ended it in a shitty way," sahut Laisa sengit.

    Menarik napas, Gavin mencoba menerangkan maksudnya tanpa menyinggung gadis di depannya lebih jauh. "Closure, La. Gue bukan menyarankan lo buat ngasih restu atau ucapan selamat ke dia. Mungkin, kalau lo datang ke sana, lo bisa berhenti ... I don't know. Maybe stop waiting for him, blaming him, or any other negative things. You deserve so much better."

    "Lo nggak benar-benar kenal gue buat bilang gue berhak dapat yang lebih baik, Gav," balas Laisa dingin. "Cuma karena gue nunjukin sisi lemah gue ke lo sekali, bukan berarti lo bisa seenaknya kasih nasihat nggak guna kayak gini."

    Gavin terdiam. Menyadari luka Laisa masih terlalu baru dan dia mungkin justru menambahnya dengan berkata begitu.

    "Sori, La," ucap Gavin akhirnya.

    Laisa mengembuskan napas. Dia bangkit berdiri untuk membayar makan siangnya, kembali mengikuti langkah Gavin yang sudah menunggu di depan lift. Perjalanan menuju lantai 26 tidak diisi obrolan, tetapi begitu pintu lift terbuka dan keduanya berdiri di lorong, Gavin membuka suara.

    "Gue mungkin nggak benar-benar kenal lo, tapi gue tahu orang yang mendahulukan kebahagiaan keluarga dibanding dirinya sendiri adalah orang baik. Orang yang berhak untuk dapat hal-hal terbaik dalam hidup."

    Laisa tertegun. Matanya tak bisa lepas dari Gavin yang balas menatapnya lekat.

    "And I'd like to get to know you better, Laisa," lanjut Gavin dengan senyum tipis, sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Laisa yang kehilangan kata di belakangnya. [ ]

***

Halo! Lanjutan bab novel ini bisa dibaca di Karyakarsa @Nureesh 😄 total masih ada sekitar 30-40 bab untuk Painting Flowers. Dengan harga 39k, kalian bisa baca seumur hidup (atau sampai Karyakarsa tutup, tapi amit-amit ya, semoga langgeng platform satu itu).
Sampai jumpa lagi! 🩷

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now