Laisa kembali tergelak. "In case lo lupa, gue sudah punya cowok ganteng gue sendiri," sahut Laisa yakin.

Jana berdecak. "In case lo lupa juga, cowok ganteng lo itu minta break. Cuma dia dan Tuhan yang tahu apa yang dia lakuin selama break kalian ini."

Menggeleng, Laisa berusaha mengusir pikiran buruk.

"Memang seganteng apa, sih, CMO baru Jalan-jalan.com?" tanya Laisa kemudian. "Lagian biasanya yang ganteng itu otaknya kurang jalan, lho. Males banget kalau ternyata orangnya menang muka doang, tapi kalau kerja doyannya nyuruh sambil marah-marah."

"Duh, jangan pesimis dulu, La. Bentar, gue kasih lihat mukanya. Ada di HP gue," jawab Jana sambil membuka galeri pada ponsel.

Lift berhenti dan banyak orang turun. Laisa melirik angka yang tertera di atas pintu lift, menyadari bahwa ini lantai 26.

"Jan, ayo turun dulu. Lo kirim aja nanti ke gue," ucap Laisa seraya menggamit siku Jana.

"Ih, tunggu!" pekik Jana. "Nih, fotonya—"

"Ahem."

Dehaman itu berasal dari pria yang berdiri di belakang mereka. Laisa langsung menoleh, begitu pula Jana. Anehnya, Jana justru ternganga dan tidak mengeluarkan suara. Padahal biasanya dia akan berubah galak jika ada orang yang menyela ucapannya.

"Kayaknya nggak perlu lihat foto," ucap orang itu tenang. Senyum tipis bermain di bibirnya, sementara kedua tangannya berada di saku celana. Posturnya benar-benar santai.

"A ... um ... selamat pagi, Pak." Jana menyapa gugup.

Laisa mengerutkan kening, lalu kembali menatap pria berkemeja putih dengan jas tersampir di tangan itu. Usianya jelas lebih tua daripada Laisa, mungkin pria itu sudah memasuki usia tiga puluhan. Rambutnya dipotong rapi, tetapi tetap bergaya. Tubuhnya lebih tinggi satu kepala darinya, dengan bahu tegap dan berat badan proporsional. Selain itu, wajahnya yang dihiasi hidung mancung dan rahang tegas semakin menambah daya tarik.

"Kalian nggak mau turun?" tanya pria itu kemudian.

Laisa tersadar dan segera melangkah ke luar. Tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Aira, salah satu anggota tim desain yang ternyata menahan pintu lift tetap terbuka. Yang membuat Laisa terkejut, pria itu ikut melangkah keluar dari lift.

Dia membalas tatapan Laisa, masih dengan senyum tipis.

"Saya Panji Satyagraha," ucapnya pelan, tetapi tegas. "CMO baru di Jalan-jalan.com. Yang kalau boleh mengutip perkataan teman kamu tadi ... ganteng. Tapi semoga nggak menang muka doang seperti dugaan kamu, ya."

Wajah Laisa seketika memerah, malu bukan kepalang! Aira yang berdiri di belakang Panji membekap mulut, meski terlihat jelas bahunya berguncang hebat.

Jana sialan! Gara-gara mulut embernya, gue malu setengah mati! Rutuk Laisa dalam hati.

"Saran saya, kalau mau ngomongin orang, jangan di lift." Panji melanjutkan tenang. "Sampai ketemu di meeting nanti."

Laisa hanya bisa diam, membiarkan chief marketing officer barunya berlalu dengan santai. Setelah memastikan Panji masuk ke ruangan, Laisa mengerang panjang. Aira dan Jana kini sudah tertawa terang-terangan.

"Ada tanah, nggak? Gue mau ngubur muka!" keluh Laisa.

Hanya gelak tawa yang menyambut ucapannya itu.

***

Laisa melangkah ke luar dari ruang rapat dengan helaan napas lega. CMO baru Jalan-jalan.com ternyata tidak menyebalkan. Dia benar-benar profesional, tidak sekali pun membahas perihal obrolan Laisa dan Jana di lift. Menilik dari caranya memberikan saran serta masukan untuk bawahannya, Laisa yakin Panji tidak hanya bermodal tampang.

Ponsel Laisa bergetar. Senyumnya mengembang membaca pesan singkat yang dikirimkan Rama. Pria itu sudah menunggunya di lobi. Padahal Laisa meminta bertemu ketika Rama sedang senggang saja, tidak perlu hari ini. Namun, kekasihnya itu mungkin tidak ingin membuat Laisa menunggu.

"La, langsung balik lo?" tegur Jana ketika melihat sahabatnya berlalu dengan tas di tangan.

"Ketemuan sama pacar. Bye, Jana!"

Tanpa menunggu sahutan, Laisa meninggalkan ruangan. Bersama senyum yang mengiringi langkah, dia bergegas menemui Rama. Hari ini Rama pasti akan meminta hubungan mereka untuk kembali seperti sedia kala. Enam bulan benar-benar waktu yang lama. Begitu melihat Rama duduk sambil menyesap kopi di salah satu bangku dekat pintu masuk kedai kopi, Laisa menyapa.

"Hai." Gadis itu tersenyum ceria.

Rama membalas dengan senyumnya. Senyum yang tidak Laisa kira akan menjadi pengantar hari terakhirnya mengecap kebahagiaan bersama Rama. Sebab beberapa saat kemudian, tanpa penjelasan, Rama meletakkan kertas ke hadapan Laisa.

Undangan pernikahan.

Yang menerakan nama Rama, tetapi tidak nama Laisa. [ ]

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now