Unfinished Business

Start from the beginning
                                    

"Gue nggak nikung," jelas Gavin. "Semalam kebetulan kami ke luar dari kantor bareng. Sudah tengah malam dan dia malah pesan ojol, jadi gue antar dia pulang."

Begitu penjelasan itu tersuarakan, Fajar tenang seketika. Orang-orang terdekat Gavin sangat mengetahui reaksi pria itu ketika mendengar seorang perempuan berniat menumpang ojek. Mungkin bisa disebut trauma jika ingin berlebihan, tetapi Gavin memiliki alasan kuat untuk sikapnya itu.

Irham terbangun tepat saat mobil Gavin berbelok menuju gedung kantor. Dia langsung sibuk dengan ponselnya, tidak menyahut meski dipanggil Fajar berulang kali. Alasannya begitu sibuk dengan ponsel karena dia mendapat laporan berkenaan masalah yang baru saja mendera Thumb A Ride. Adnan dan Fani yang sudah sampai di ruangan terlebih dahulu menyambut ketiganya dengan wajah gusar.

"We have a problem," ujar Fani dengan wajah kaku.

Pagi itu, tidak ada tawa mengisi kantor Thumb A Ride.

***

"Siapa yang in charge buat campaign ini?" tanya Gavin dengan suara rendah. Dia berdiri di samping dinding kaca sementara anggota TAR duduk mengitari meja kerja masing-masing.

Fani meremas jari-jarinya, berusaha melirik Fajar dengan tidak kentara. Gavin yang mendadak tenang saat masalah datang jauh lebih menyeramkan daripada Gavin yang meledak-ledak. Belasan tahun bersahabat, Fani bisa menghitung dengan jari ledakan emosi Gavin. Dalam banyak hal, Gavin hampir setenang Irham, itulah yang membuatnya menjadi pemimpin baik.

"Gav, ini bukan saatnya nyalahin anggota tim—"

"Memang bukan," sela Gavin tajam. "Tapi ini yang ketiga kalinya dalam sebulan terakhir kita melewatkan prime time untuk kick off campaign. Dua kali masih bisa gue maklumi, makanya nggak gue bahas lebih jauh. Sekarang?"

Fajar mengusap wajah, tidak terlihat ekspresi konyol seperti biasa. "Sori, Gav. Gue ceroboh. Ternyata e-mail yang seharusnya gue kirim ke anak marketing masih ada di draf. Kayaknya gue buru-buru close window pas mau pulang semalam. Jadi, bukan salah mereka konten pagi ini nggak naik, karena gue yang—"

"Kerjaan lo ini bahkan nggak butuh otak, Jar." Lagi, Gavin menyela tajam. "Lo cuma tinggal kirim materi promo sesuai jadwal yang ditentukan. It's a no brainer job! How could you still manage to mess it up?"

Irham bangkit dari duduk, berniat menenangkan CEO-nya sebelum pertikaian memanas, tetapi Gavin sudah berjalan ke luar dari ruangan. Meninggalkan situasi tegang dan tak nyaman di antara mereka. Sejak awal, ide membangun usaha bersama ini memang berisiko tinggi. Bukan saja perkara modal, persahabatan mereka pun menjadi taruhan.

"Jangan diambil hati," ucap Irham kemudian. Wajahnya muram, tetapi dia menepuk bahu Fajar, berusaha menyemangati. "Kalian tahu Gavin under pressure, bokapnya neror dia sejak minggu lalu. Kalian juga tahu if by the end of the year kita nggak memenuhi target, Gavin harus ngelepas jabatannya di sini."

Fani mendesah. "Kita tahu, Ham. We know better than anyone how much Gavin despise working for his father. But this is not okay. Dia nggak bisa luapin emosi ke kita cuma karena ada satu hal yang nggak berjalan sesuai rencananya. We're human, after all. We tend to make mistakes."

Mengangguk, Irham membalas, "Nanti kita omongin ke dia setelah emosinya agak reda. We're okay?"

Adnan ikut mengangguk, disusul gumam setuju dari dua sahabatnya yang lain. Mereka sudah melewati masalah-masalah yang lebih berat daripada ini. Dan, menyerah pada salah satu di antara mereka tidak pernah menjadi pilihan.

***

Gavin membanting pintu mobilnya dengan tenaga yang tidak perlu. Dia mengacak rambut, lalu menatap ke depan tanpa fokus. Dering ponsel membuat emosinya semakin memuncak, terlebih setelah melihat nama ayahnya yang terpampang. Dia tergoda untuk membuang ponselnya ke luar, tetapi dia tahu ada banyak data yang sangat diperlukannya dalam ponsel itu. Dia justru akan mempersulit diri sendiri jika terus mengikuti emosi.

Panggilan terhenti, hanya untuk diikuti oleh dering lain. Kali ini bukan nama ayahnya yang muncul di layar dan Gavin segera menerima teleponnya.

"Sarah?" sapa Gavin langsung. "Ada apa?"

Suara tawa merdu menyambutnya. "Kenapa kamu cemas gitu, Gav? Memang kalau aku telepon harus ada apa-apa?"

Menghela napas, Gavin pun merasa kedua sudut bibirnya terangkat naik. Mendengar suara gadis itu sering menjadi obat untuk masalah apa pun yang menderanya.

"Kamu di mana? Mau makan bareng?" tawar Gavin.

"Aku masih syuting." Sarah mendesah. "Kayaknya kita nggak bisa ketemu dalam waktu dekat."

Gavin membalas, "Nggak apa-apa, yang penting kamu jaga kesehatan. Langsung kabarin aku kalau butuh sesuatu."

"Siap, Bos!" Tawa Sarah kembali terdengar. "Aku sudah dipanggil buat take gambar lagi. Talk to you later, baby."

Tersenyum, Gavin pun bergumam, "Later."

Sambungan terputus, Gavin masih terdiam di mobilnya dengan pikiran berkelana. Hubungannya dengan Sarah tidak bisa dikatakan mudah, meskipun ketika bersama gadis itu Gavin merasa seluruh bebannya terangkat. Tawa dari Sarah bahkan mampu mengusir amarah Gavin dengan cepat. Mungkin itu yang membuat Gavin tidak bisa melepas Sarah, tak peduli sudah hampir sepuluh tahun mereka berpisah. Sarah adalah tempatnya untuk pulang, melepaskan segala beban.

Seandainya gue nggak ngelakuin kesalahan itu....

Gavin segera menggelengkan kepala. Yang sudah terjadi tidak bisa dia ubah lagi. Walau kini hubungannya dengan Sarah rumit, setidaknya dia masih memiliki gadis itu dalam hidupnya.

Sambil menghela napas, Gavin menyandarkan kepalanya. Saat itulah matanya menangkap suatu benda berwarna putih yang tergeletak di dasbor mobil.

Gantungan berbentuk boneka kutub milik Laisa.

Dia bertanya-tanya, sadarkah gadis itu bahwa barangnya terjatuh? Sesaat Gavin menatap boneka seukuran telapak tangannya itu. Tanpa sadar tersenyum karena wajah boneka itu sangat datar. Agak mengingatkannya pada ekspresi Irham.

Reaksinya di kantor tadi memang berlebihan. Semua orang bisa melakukan kesalahan, apalagi kecerobohan yang dilakukan Fajar itu dapat dikatakan cukup lumrah. Bukannya Fajar sengaja tidak mengirimkan materi promosi yang susah payah mereka susun, Fajar hanya tidak teliti.

Gavin mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi pesan antar untuk memesan piza. Setelah itu, dia kembali melangkah menuju kantor. Saatnya meminta maaf kepada sahabat-sahabatnya.

***

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now