"Wait, what did you say?" Jana membelalakkan mata. "Lo bilang Gavin?"

"Umm, ya," jawab Laisa bingung. "Kenapa?"

Jana menepuk dahi. "Astaga, La! Itu bukan 'anak' Thumb A Ride, tapi founder-nya!"

"Pantes aja," gumam Laisa, teringat perihal toilet VIP yang digunakan pria itu. "Tapi kenapa lo heboh, deh, Jan?"

Berdecak, Jana berkata, "Makanya ikut community gathering, Jeng Laisa! Jadi kudet, kan, lo! Si Gavin itu masuk jajaran most wanted bachelor versi cewek-cewek—dan beberapa cowok—dari komunitas startup se-Indonesia. Gue juga tahunya pas gathering akbar awal tahun ini. Dia semacam seleb gitulah, dari keluarga tajir melintir, terus sukses bangun usaha sendiri."

"Oh, makanya dia nggak butuh gue ganti kemejanya. Mungkin dia punya selusin dengan model dan merek yang sama di lemari," sahut Laisa asal. "Terus, lo naksir dia?"

Jana tergelak. "Nggaklah. Cuma cewek nggak waras yang bersedia jadi korban dia, La!"

Karena kalimat itu, kedua alis Laisa hampir menyatu. Rasanya dia mendengar kalimat serupa dari teman Gavin.

"Maksudnya, Jan?" tanya Laisa. "Dia player?"

Mengangkat bahu, Jana menjawab, "Nggak jelas juga sih kategorinya, dari beberapa desas-desus yang gue dengar, si Gavin itu gentleman. Dia bilang dari awal sama calon korbannya kalau mereka cuma senang-senang, jangan berharap. Tapi, ya ... lo tahulah perasaan, mana bisa didikte. Setelah jalan beberapa lama dan diperlakukan manis, pasti cewek mana pun luluh.

"Gue aja mengakui si Gavin keren, kok. Apalagi ditambah bibit, bebet, dan bobotnya. Kebayang nggak kalau jalan sama dia bakal gimana? Sayangnya, dari deretan cewek yang pernah jalan sama dia, belum ada satu pun yang bisa bikin Gavin settle down. Jadi, ya, korban dia banyak soalnya hampir semua cewek yang pernah jalan sama dia berakhir patah hati."

Laisa berusaha mencerna informasi itu. Dia pun mengakui Gavin keren, bukan karena latar belakangnya, tetapi karena pria itu berbesar hati merelakan satu kemejanya terkena noda tanpa harus diganti. Untuk perihal lain, Laisa tidak peduli. Toh, dia juga tidak tertarik menjadi korban Gavin. Laisa sudah memiliki Rama, dia tidak berminat pada pria lain.

"Makasih buat infonya, ya, Jeng Jana," kata Laisa seraya membereskan meja.

Jana menaikkan sebelah alis. "Lo mau ke mana jam segini sudah siap-siap balik?"

"Gue ada date sama Rama," jawab Laisa dengan wajah berseri. "Klien dia di gedung ini juga katanya, meeting jam empat tadi dan baru kelar sekarang. Gue cabut duluan, ya."

Setelah berpamitan pada beberapa orang dalam timnya, Laisa melangkah keluar dari kantor. Betapa terkejutnya dia ketika berpapasan dengan Rama di depan lift, bersama anggota tim Thumb A Ride.

"Eh, Laisa!" sapa Fajar bersama cengiran lebar. "Mau pulang juga?"

Laisa tersenyum dan mengangguk, kemudian melirik Rama yang kini menatapnya dengan pandangan bertanya. Bertepatan dengan itu, salah satu pintu lift terbuka dan mereka semua masuk ke dalamnya. Perjalanan turun sejauh 26 lantai itu berlangsung hening. Setelah mereka mencapai pintu lobi, barulah Laisa membuka suara.

"Duluan, ya," pamit Laisa.

Laisa dan Rama melangkah menuju lift lain yang akan membawa mereka ke basemen, tempat Rama memarkir mobil. Tangan keduanya tertaut dan Laisa mendongak untuk menjawab pertanyaan Rama dengan senyum lebar.

Semua itu tidak luput dari perhatian tim Thumb A Ride, yang segera disuarakan oleh Fajar.

"Lah, punya orang itu si Laisa! Kasihan amat lo, Gav!"

Fani terbahak. "Mampus lo, Gav. Cewek baik-baik pasti dapat cowok baik-baik, kan? Dari awal lo sudah tereliminasi."

"Kalian jangan pesimis, itu baru pacaran doang. Ingat, kan, pas meeting kita ada bahas soal iklan pakai konsep nikah? Si Rama nyeplos belum nikah," kata Adnan. "Selow, Gav. Selama bendera kuning belum berkibar, peluang lo terbuka lebar!"

Gavin menggeleng mendengar racauan teman-temannya. Kadang dia berharap bisa sedatar Irham, yang berkat hemat ekspresinya, tiga temannya yang lain malas menggoda. Mereka berkata, "Mending godain tembok sekalian."

"Cieee, Gavin bertepuk sebelah tangan nih," goda Fajar.

Adnan terkekeh. "Cieee, Gavin kena batunya."

Fani menambahkan, "Cieee, Gavin akhirnya falling in love with someone he can't have."

Tawa dari teman-temannya mengiringi langkah Gavin. Perjalanan mereka menuju tempat makan malam pun semakin heboh karena film horor yang mereka tunggu akan tayang tahun ini. Sementara diam-diam, Gavin mengingat senyum Laisa untuk kekasihnya.

Mengapa senyum itu justru mengendap dalam benaknya?

***

Painting Flowers (Pain Series #1)Where stories live. Discover now