AL

214 10 0
                                    

Siapa pun, bisakah hentikan rasa sakit ini?

Sudah dua minggu kepergian Maura. Sudah saatnya kehidupan Al bergerak seperti semula. Sudah saatnya Al mulai memikirkan bagaimana hidupnya berlanjut.

Namun, Al belum melakukan apa-apa. Bahkan, ia juga belum memikirkan tentang anaknya. Ia masih ingin begini, membayangkan Maura sedang pergi ke tempat yang jauh dan akan pulang dalam beberapa hari.

Al mengambil kemeja berwarna abu, berdiri di depan cermin besar, lalu memakai kemeja itu.

"Kenapa pilih kemeja yang itu, sih, Honey? Kenapa tidak pilih yang putih-lebih cerah." Maura memperhatikan Al yang tengah berdiri di depan cermin sambil mengancingkan kemeja.

Al mengingat komentar Maura saat ia memilih kemeja ini. Dulu. Di matanya kini semua tampak kelabu, seperti foto lama berwarna hitam putih.

Al menatap deretan kemejanya. Biasanya, Maura yang akan memilihkan untuknya dan memadukan dengan celana yang sesuai.

Yang lebih menyedihkan adalah, setiap pagi Al harus duduk sendirian di meja makan. Matanya memandang kosong kopi yang dibuatkan Mrs. Hattie untuknya. Kopi yang sama sekali belum disentuhnya. Gula batu yang disediakan Mrs. Hattie di dalam toples kecil pun belum berpindah dari tempatnya. Al sama sekali tidak pernah meminum kopinya.

Al memandang sekeliling. Pada interior dengan warna kesukaan Maura. Pada keramik-keramik koleksi Maura. Pada lemari berisi buku-buku Maura. Pada aroma manis Maura yang masih tertinggal di sudut-sudut apartemen.

Semua terlalu menyakitkan untuk Al.

Perasaannya kosong.

Al tidak ingin melakukan apa pun. Tetapi, ia memaksakan dirinya bangkit dari kursi makan dan melangkah keluar apartemen.

***

"Saya akan jelaskan di meeting nanti sore," ujar Al di telepon. "Saya-" Ia menghentikan kata-katanya ketika melihat Ben memasuki ruang kerjanya. "-akan telepon lagi nanti." Al mengakhiri percakapan dan meletakkan ponselnya di atas meja, lalu meraih dokumen, berusaha mengalihkan pandangan dari sahabatnya.

"Kerja, kerja, kerja," komentar Ben sambil menyeringai.

"Ada apa?" Al tidak mengangkat matanya dari dokumen yang sedang dibacanya.

Ben menarik kursi di depan meja Al. "Mau memastikan kau masih hidup atau tidak." Tangannya yang iseng mengambil sebuah tumblr. "Apa isinya? Bir?"

"Teh something. Buatan Ella. Tadi pagi dia menitipkan ke Mrs. Hattie," kata Al acuh tak acuh.

Sebelah alis Ben mencuat naik. "Sayang sekali tidak diminum. Padahal dia sudah berbaik hati membuatkan ini untukmu lho, Al."

"Aku tidak minta, kok," tukas Al. "Minum saja."

Ben membuka tumblr, mencicipi isinya. "Enak, kok." Ia menatap sahabatnya. "Kau sudah bicara dengan Ella soal rencana pindah ke Seattle?"

Al menggeleng. "Belum," sahutnya. "Belum ada waktu."

"Kehamilan Ella makin besar lho, Al. Kau mau menunggu sampai Ella melahirkan?"

Al menghela napas panjang, meletakkan dokumen di tangannya. Ben, sementara itu, asyik menikmati teh sereh di dalam tumblr. Selama dua minggu ini, Ella tidak pernah absen membuatkannya makanan dan teh sereh. Ia hanya memakannya sekali di saat benar-benar lapar.

Bukan karena Al tidak menghargai Ella. Ia malah berterima kasih pada sahabat Maura itu. Hanya saja, ia tidak punya keinginan untuk makan. Ia juga tidak punya semangat untuk hidup. Dunianya sudah berubah abu-abu. Setiap hari, Al selalu lembur. Ia sengaja pulang larut untuk menghindari rasa kesepian.

Tetapi Ben benar. Anaknya yang berada dalam kandungan Ella membutuhkannya. Al tidak mungkin mengulur waktu lebih lama lagi dan membiarkan anaknya lahir tanpa dirinya-orang tua satu-satunya yang anak itu miliki. Dan, anak itu juga satu orang yang tersisa dalam hidupnya.

Mungkin ini saatnya bicara kepada Ella.

***

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now