Xiang memandangi Ling dengan alis terangkat selama beberapa waktu. Ling yang salah tingkah akhirnya menunduk, lalu menekuk lutut mengikuti Xiang. Akibatnya, ia tidak melihat bagaimana senyum Xiang menghangat.

"Memeragakan baju-baju dengan potongan tertentu pernah menghambat saya di sekolah model. Kalau Anda pikir Anda payah karena kesulitan memeragakan trench coat, saya pernah mundur satu bulan di sekolah model karena permasalahan serupa." Xiang terkekeh lagi. "Namun, Nona Zhang lebih cepat belajar dibanding saya. Dengan gemblengan tiap hari dari Nona Ouyang, jalan Anda sudah cukup baik. Mungkin kalau diajari juga cara memotong kain, Anda akan lulus ujiannya A-Tian dalam sehari."

Ling melotot, memekik, lalu menoleh pada Xiang yang barusan berjengit kaget. "Benar! Mengapa Kepala Desainer memutuskan saya tidak bisa membantu di workshop hanya karena satu perca? Itu tidak adil!"

"Yah ... orang yang bisa membantu di workshop setidaknya harus bisa mengenali arah serat kain." Melihat Ling masih bingung, Xiang melanjutkan. "Anda memotongnya berlawanan arah tadi."

"Apa? Serat kain sangat kecil, bagaimana cara melihatnya? Mereka terlihat sama, bukan?" desak Ling, yang sayangnya memperoleh gelengan pelan Xiang.

"Ada cara mengenalinya, misal ini," Xiang membuat garis imajiner di lengan bajunya, "arah seratnya membujur. Nah, Anda harus memotong sesuai arah itu."

Ling mengerutkan kening, mengamati lengan baju Xiang. "Saya tetap tidak bisa melihatnya ...."

"Nanti saya tunjukkan lagi kalau ada cukup pencahayaan."

Aku tidak yakin bisa mengerti walaupun sudah di tempat terang, batin Ling, lagi-lagi kesal karena payah soal jahit-menjahit, padahal perempuan. Di sisi lain, ia makin kagum pada Xiang yang—meski berpembawaan sangat maskulin—bisa mengerjakan hal-hal sedetail ini.

"Tuan Feng sepertinya bisa mengerjakan apa pun, ya."

"Alah bisa karena biasa." Xiang merendah. "Sebetulnya, saya sudah lupa cara menjahit satu pakaian utuh karena lama tidak melakukannya. Ornamen-ornamen kecil di workshop bisa saya kerjakan hanya karena A-Tian mengajari saya."

Ling mengerjap-ngerjap, tiba pada suatu kesimpulan. "Apa yang sebetulnya ingin Tuan Feng lakukan?" tanyanya. "Dari tadi, sepertinya Anda tidak pernah melakukan sesuatu atas keinginan sendiri."

Hening—dan keheningan itu cukup meresahkan. Saat Ling melirik ke sebelahnya dengan takut-takut, Xiang tengah menerawang ke langit Shanghai yang tak berbintang. Mungkin berbintang, hanya tertelan cahayanya oleh lampu-lampu kota yang menyorot sampai atas.

"Saya melakukan ini atas keinginan sendiri, kok."

"Anda mengerti maksud saya," sahut Ling. "Apa cita-cita Anda? Sesuatu yang tidak berkaitan dengan karier Anda sekarang, kebutuhan orang tua, maupun keinginan saudara-saudara Anda; yang Anda inginkan sebagai anak-anak, yang masih bertahan hingga sekarang karena kecintaan Anda padanya."

Keheningan tadi memanjang. Senyum Xiang menghilang dan dagunya kini menumpu ke atas lutut.

"Tidak ada."

Hati Ling mencelus. "Mustahil."

"Kalau begitu," Xiang menoleh pada Ling, "memangnya Anda menginginkan apa?"

Merasa tertantang, Ling terburu-buru mencari jawaban dalam kepala, lalu menyemburkannya dalam patahan-patahan ngawur. "Uh, saya p-pokoknya ingin kaya dan cantik, juga mengenakan banyak pakaian bagus yang berbeda setiap harinya!"

Itu juga bukan cita-cita! Ling menegur diri sendiri. Ingin rasanya menyurukkan kepala dalam lubang. Setelah memaksa Xiang mengutarakan keinginan seperti tadi, masa keinginannya sendiri tak jelas? Mau bagaimana lagi? Nyatanya, apa yang 'menjebak' Ling dengan Fenghuang dulu memang adalah kesukaannya memakai baju-baju modis dan berdandan.

Kevin Huo's ProposalWhere stories live. Discover now