Bab 1. Selamat Pagi, Bisa Dibantu?

12 12 0
                                    


"Selamat pagi, dengan Imelda bisa dibantu?" salam yang selalu terucap di waktu delapan jam kerjaku. Imelda, adalah nama online yang manajemen berikan padaku, terkadang aku tertawa mendengar nama online tersebut. Pernah mengalami krisis identitas lantaran belum terbiasa dengan nama palsu tersebut. Awalnya, aku tidak pernah menengok ke arah orang yang memanggilku dengan nama palsu tersebut. Sekarang aku mulai terbiasa olehnya.

Vanya Larasati itu nama asli yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku memutuskan masuk ke dunia call center sejak lulus kuliah. Usiaku masih dua puluh dua tahun saat itu. Oke, kalian tahu kan tidak mudah mencari pekerjaan. Layaknya sarjana sosial lainnya, aku tentu juga ingin bekerja sesuai dengan latar belakang yang seharusnya mungkin membuatku terdampar di kedutaan suatu negara. Namun, kenyataannya aku tidak lulus tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) hingga aku harus memutar haluan. Aku tidak pernah menyesali takdirku sebagai seorang agen call center di sebuah perusahaan penyedia jasa karena setidaknya aku masih punya kesempatan untuk menikmati hidup yang berbeda dengan karyawan yang bekerja di jam kerja normal, belanja gila-gilaan ala kaum hawa, jalan-jalan, hang out dari suatu tempat ke tempat dengan kawan-kawan dan juga berkaraoke sampai suara serak dan besoknya kehabisan suara saat kembali menyapa pelanggan tercinta.

Selain krisis identitas, krisis jam tidur pun menyertai. Aku terkadang bekerja saat kalian mungkin sedang tertawa terbahak-bahak dengan kawan sepermainan atau berkumpul dengan keluarga bahkan mungkin kalian sudah tersesat di alam mimpi. Semua itu tergantung dari jadwal kerja yang diberikan oleh team leader.

Sebenarnya, sebelum menjadi call center, aku pernah mengajar les Bahasa Inggris untuk murid SD sampai SMA. Meski hanya sebagai guru terbang, insentif yang aku peroleh tergolong lumayan saat itu. Nilai delapan ratus ribu rupiah di tahun 2009 sangat berharga. Lalu, kenapa berhenti? Aku butuh pengalaman lebih di usia muda. Darah di keluargaku memang banyak yang berprofesi sebagai pengajar. Aku pun menikmati profesi tersebut namun hasrat anak muda tidak boleh ditentang. Jadilah, aku tersesat di dunia yang memakai bando. Bando apa sih? Bingung ya bando apa yang dimaksud? Bando adalah headset yang menjadi perlengkapan tempur para petugas call center, kami menyebutnya begitu. Kamu tahu, betapa bangganya aku dulu bekerja memakai bando, belum lagi uang yang diterima tiap tanggal 25.

Pukul enam pagi, mata masih setengah terbuka, dipaksa terbuka tepatnya oleh aroma kopi sachetan jatah dari kantor. "Selamat pagi dengan Imelda bisa dibantu?" sapaku. Menurut kawan-kawan suaraku empuk seperti penyiar radio. Namun pernah juga pelanggan meledek suaraku, katanya kurang imut.

"Mbak! Sampeyan ngapain pagi-pagi udah kerja aja," teriak suara di ujung telpon. Kaget mendengar kalimat tadi? Ah, kalimat seperti itu sudah biasa bagi kami. Tipe pelanggan memang beragam, apalagi ini layanan non keuangan. Jadi kalimat-kalimat iseng seperti itu lazim terdengar saat itu. Belum lagi saat mendapatkan jadwal pakai bando di malam tahun baru, atau ketika malam takbiran. Hal apapun bagi kami akhirnya menjadi biasa saja dan tetap harus bersabar menghadapi tipe pelanggan yang berbeda.

Bekerja sebagai call center juga mengharuskan aku untuk tunduk pada jadwal istirahat yang telah ditentukan durasinya. Belum lagi tidak bisa makan siang serentak, semuanya sudah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penumpukan antrian telpon. Namun, jujur saja aku tidak pernah mematuhi aturan tersebut, aku selalu memakai alasan memiliki riwayat penyakit asam lambung jika ditanya.

"Ssst, oi, mau makan sekarang gak?" tanyaku pada sahabatku, Grace alias Anita Kristianti nama aslinya. Aku dan Grace saling memanggil nama online kami untuk membiasakan diri dengan nama palsu kami. Grace menoleh padaku, dia masih asyik berbicara dengan pelanggan.

"Betul bapak, ada lagi yang bisa dibantu?" tanya Grace sebelum melakukan salam penutupan. Lalu dia menekan tombol mute dan berbicara padaku.

"Adooooh lama nih bapaknya. Tunggu bentar ya, mana laper banget lagi gue," protes Grace sambil memasang muka cemberut. Aku hanya bisa tertawa tanpa bersuara.

Perempuan Berbando (END)lWhere stories live. Discover now