"Saya rasa Anda yang sekarang juga tidak pernah bercerita. Dulu sewaktu kecil, Anda bahkan menceritakan tentang apa saja berulang kali." Pria kaku itu tersenyum kecil. Dia selalu begitu. Wajah datarnya hampir sama seperti sang ayah. Tidak pernah tertawa, tidak pernah tersenyum lebih lebar sampai baris giginya terlihat.
Tapi paman Kim lebih manusiawi, manusia itu masih memberikan senyum kecil untuknya, dibandingkan dengan sang ayah yang tidak pernah mengumbar senyum sama sekali.
Jaemin tidak lagi membalasnya.
Dia membiarkan keheningan sekali lagi mengambil alih. Baru ketika melihat tanda-tanda lelaki itu akan beranjak, dia kembali mengeluarkan suara.
"Ada yang ingin aku tanyakan, paman."
Kim bergeming. Tubuhnya yang telah berdiri tidak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali mendudukkan diri ke kursi. Dengan gelas kotor dan nampan di tangan, dia berdiri menunggu.
"Jeno dan aku... " Perkataannya terhenti, matanya mengerjap dua kali. Bayangan api di tungku bergolak, meliuk di dinding pembakaran.
"...sama. Kami lahir di tahun yang sama."
"Ya, benar." Ada makna sirat untuknya melanjutkan kata. Jaemin tersenyum. Hal bodoh apa yang baru saja Ia ucapkan?
"Kami telah legal secara hukum, bukan?"
"..Ya?" Kini, wajah pria itu beriak. Ada kerutan samar di dahinya yang tidak nampak menua. Jaemin memperhatikan semua perubahan itu dengan seksama.
"Ah, tidak. Bukan apa-apa. Tapi, bisakah kau menyampaikan kepada ayah jika aku ingin bertemu?"
Pria paruh baya itu tidak langsung menjawab. Seolah dia mempertimbangkan dengan sangat, dan Jaemin sedikit bersyukur karena pria itu tidak langsung menolaknya.
"Entah, Saya rasa Tuan Besar masih sibuk beberapa hari ini. Anda membutuhkan sesuatu? Saya bisa menyampaikannya."
Jaemin menjilat bibit bawahnya. Matanya yang keabuan memandang lurus sosok yang lebih tua, sama-sama menatap penuh.
"Tidak kurasa. Aku hanya ingin bertemu ayah, sudah berminggu-minggu aku tidak melihatnya karena hukuman ini. Tapi karena hukumannya sudah selesai, aku jadi ingin menemuinya."
Kerutan di dahi Paman Kim mengendur, dia mengangguk kecil. "Akan coba Saya sampaikan. Kalau begitu, Anda sebaiknya istirahat lebih pagi hari ini Tuan Muda. Esok anda harus kembali sekolah."
Setelah kepergian pria tua itu, Jaemin tidak langsung beranjak. Dia memilih tetap diam di sana dengan tubuh bersandar pada kursi, tak terlihat tidak nyaman atau kesakitan akibat luka mengerikan di punggungnya yang masih meninggalkan tanda kemerahan.
Tepat ketika lampu-lampu dimatikan, Seseorang muncul tanpa suara. Warna merah yang menyala dalam gelap tak bisa menyembunyikan sosoknya. Tapi jika mengabaikan hal satu itu, orang lain tidak akan mudah menyadari kehadirannya.
Kini, sosok itu menatap penuh pada pemuda lain yang tengah duduk bergeming sendirian, sementara matanya menatap perapian dengan tatapan kosong.
"Kurasa semua baik-baik saja, Hyung?"
Yang dipanggil 'Hyung' akhirnya mendengus. Hawa keberadaannya yang samar yang selalu Ia agungkan nyatanya sudah tak berlaku pada pemuda ini. Dia hanya berencana untuk berkunjung sebentar, tapi ternyata orang itu menyadari kedatangannya.
Dia sudah ketahuan, maka dengan cepat Ia keluar dari bayangan gelap. "Ya, tidak ada masalah. Aku hanya ingin memastikan kau masih hidup."
Lelaki itu berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi di sebelah Jaemin. Matanya memperhatikan Jaemin dengan saksama, dan ketika mendapati pemuda itu baik-baik saja, dia berkedip.
"Aku akan terus hidup sampai mereka menginginkanku mati." Ucapnya dengan senyum pahit.
Satunya yang mendengar jawaban itu mengangkat salah satu alis, tapi belum mengatakan apa pun. Dia memilih memperhatikan Jaemin, dan sekilas menangkap api perapian yang meliuk meriah di matanya yang kelabu.
Kemudian, dia meluruhkan tubuh ke kursi, beralih memandangi perapian yang sama. Perapian itu sedikitnya terlalu dekat dengan tempat duduk, tapi cukup menghangatkan pria itu yang kelihatannya baru saja menghadapi badai salju.
"Ibumu tidak meninggalkanmu di sini hanya untuk mendengar omong kosong itu, anak muda."
"Mungkin ya, mungkin tidak."
"Aku tahu dia dengan baik. Dia wanita sempurna."
"Tapi aku tidak tahu."
Yang lebih tua akhirnya mendengus geli. Benar. Pemuda itu tidak tahu bagaimana sikap ibunya yang sebenarnya. Jaemin hanya tahu bahwa ibunya adalah sosok ibu yang kejam dan tidak berperasaan.
"Aku selalu ingin menanyakan ini, bagaimana kau selalu tahu kalau aku datang?"
Jaemin membutuhkan waktu beberapa saat untuk menjawab.
"Kau punya bayangan," lugasnya.
"Semua orang punya," Jawab yang lebih tua dengan malas seolah mengajari anak kecil penjumlahan bilangan dasar.
Jaemin memiringkan kepalanya, menatap pria berambut merah yang tidak tampak terlalu peduli pada jawabannya.
"Mereka bicara padaku." Lirihnya.
Merasa salah dengar, dia memajukan wajahnya. "Apa yang kau bilang?"
"Lupakan. Bukan apa-apa."
Pria itu berdecak. "Lagi pula, ibumu itu-"
"Hyung," Tukasnya. Api mulai mereda dalam waktu singkat, penerangan akan padam sempurna sebentar lagi.
Dia melirik sekilas ke dalam tungku perapian di mana bayangan kobar api semakin membesar.
"Aku akan ke sana beberapa hari lagi. Untuk sementara ini, kirim Rubah jika ada sesuatu hal yang perlu disampaikan. Tidak perlu mendatangiku langsung ke sini."
Pemuda itu menoleh disertai senyum kecil yang jarang Ia tunjukkan, "Untuk sekarang, kau boleh pergi, Hyung."
Mata si rambut merah memicing, kernyit samar muncul di dahinya. "Pergi? Disaat diluar ada badai salju? Berperasaanlah sedikit," dengusnya.
"Aku tidak nyaman ketika ada orang asing."
Yang lebih tua semakin menaikkan alisnya. Melihat Jaemin masih bergeming lurus, dia akhirnya bangkit dan mulai melangkah. Meski, wajahnya menunjukkan kalau dia sedikit tersinggung.
"Hyung,"
Dia berhenti, sedikit memiringkan badan ke belakang dengan pandangan bosan, "Apa?"
"Jangan lewat pintu belakang lagi. Kembalilah lewat jendela kamarku, disana ada sedikit penerangan."
Dia membalasnya, lagi-lagi dengan dengusan pelan. "Aku tidak buta, ya, anak muda."
Tapi pria berambut merah itu tetap berbelok ke arah yang dimaksud, ruangan yang memang berpencahayaan lebih baik. Dia melihat jendela terbuka, dan sebelum meloncat keluar, tangannya mengambil asal satu mantel tebal yang tergeletak di atas ranjang untuk dikenakan.
Ruang tengah tak lantas kembali sunyi. Ketika mendengar suara ketukan jendela yang tertutup, dia mengambil satu batang lilin di kamarnya dan kembali ke ruang tengah. Sumbunya telah Ia nyalakan. Dengan langkah pasti, dia menyambar teko berisi air dan menyiramkan semua isinya ke dalam perapian.
Bara apinya mendesis sebab dipaksa padam. Sisa kepul asapnya menari-nari tipis di tengah remang ruangan yang hanya bersumber satu cahaya kecil.
Sesudah memastikan api benar-benar padam, dia beranjak ke sisi lai rumah, tempat dapur berada sekaligus pintu belakang.
Lilinnya terjulur untuk memastikan sesuatu. Dilihatnya, gerendel pintu masih terpasang sempurna dan dalam keadaan terkunci. Wujudnya masih sama; separuh berkarat, dengan posisi seperti dua minggu yang lalu ketika pertama kali dia memasangnya.
Gemeretak suara dari luar terdengar keras. Mengetuk-ngetuk pintu kayu dan jendela dapur tanpa aturan hingga seolah penuh suara ribut. Badai salju masih berlangsung.
Setelahnya, dia kembali ke ruangannya tanpa memedulikan apapun lagi.
———
Triple up!
YOU ARE READING
The Shadow
FanfictionMereka hanya ingin bertahan hidup. WARNING! This story's about dystopia city. May include horror, violence, blood, and many things that not suitable for children under 18th. [Minimal romantic scene] Starring: NCT Jaemin & Renjun, as the main charact...
Part 23 - Jaemin
Start from the beginning
