BAB 1: Awal Sebuah Derita

0 0 0
                                    


Indak kayu … mak janjang dikapiang

Asakan dapek urang den cinto

Tolong tangkurak namonyo gasiang

Namuah disuruah jo disarayo

.

Gasiang batali jo kain kapan

Di patang kamih malam jumahaik

.Lah manggabubu asok kumayan

Urang di dunia banyak kiramaik

Tolong … tolong lah jihin si rajo hawa

.

Gasiang tangkurak baoklah pasan

Jikok nyo lalok tolong jagokan

Jikok nyo tagak suruah bajalan

Di siko kini denai nantikan

Rumah panggung dengan atap gonjong itu ramai, suara teriakan perempuan cantik di desa itu membuat orang-orang berlari untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Sakit.... Sakit, Bundo." Perempuan berambut panjang itu memegang kepalanya. 

Dia berteriak histeris kesakitan. Sang ibu yang berada di sampingnya, memeluk putri semata wayangnya. Aima  terus berteriak sakit, sambil memukul kepalanya. Wajah yang cantik terlihat pucat, rambut lurus dan panjang itu juga berantakkan.

Nurmala masih duduk di samping putrinya, Aima. Gadis itu terlelap di pangkuan sang ibu. Nurmala mengusap kepala putrinya, merapikan rambut lurus sang putri yang kusut. Aima terlihat lelah, setelah hampir seharian dia berteriak sambil mengerang kesakitan. Nurmala merapalkan ayat-ayat suci di dekat putrinya. Sang anak pun tadi  sudah ditangani oleh seorang  pandai obat kampung. 

Kerumunan warga yang tadi melihat Aima berteriak seperti orang gila juga telah bubar. Di rumah panggung itu hanya tersisa, Nurmala dan suaminya, Sutan Mudo Zainal.

"Bagaiman ini, Uda?" tanya Aima pada sang suami. Tangannya masih mengelus rambut putrinya.

"Entahlah, Nur. Uda juga bingung. Kalau kata Pak Ungku tadi Aima terkena santet. Tapi, uda masih belum bisa percaya sepenuhnya." Sutan Mudo Zainal berujar, matanya menatap Aima yang telah lelap.

"Andai itu benar, siapa pula yang setega itu, Uda. Seingat saya, kita tidak pernah berlaku jahat sama siapapun. Aima juga begitu. Anak kita selalu bertutur kata yang sopan pada setiap orang, bahkan sama yang lebih muda darinya sekalipun." Nurmala mencoba berspekulasi. 

Wanita paruh baya itu masih berpikir tentang penjelasan Pak Ungku, pandai obat di kampungnya.

"Kita tidak pernah tahu isi hati orang, Nur. Tapi hal itu tidak perlu kau jadikan beban pikiran. Saat ini kita berdoa saja, semoga anak kita cepat sembuh," jelas lelaki bertubuh tegap yang berdiri di dekatnya.

Nurmala mengangguk. Aima masih nyenyak di pangkuan wanita yang mengenakan baju kurung itu. Lantunan ayat suci masih terus menggema di rumah panggung yang  beberapa bagiannya menggunakan kayu. Rumah ini adalah rumah peninggalan keluarga Nurmala yang telah mengalami renovasi. Sebuah gempa besar yang menggoncangkan tanah Andalas, membuat rumah yang sebelumnya seluruh bagian menggunakan kayu itu rubuh. Kemudian Sutan Mudo Zainal merenovasinya, dengan tidak merubah pondasi maupun model bangunan. Hanya dia membuatnya sebagaian menggunakan batu bata, dan sebagian lagi tetap menggunakan kayu. Perlengkapan rumah yang masih bisa diselamatkan pun, selalu digunakan. Salah satunya, kursi rotan dengan sandaran berupa anyaman, tempat Sutan Mudo Zainal biasa duduk. 

GASIANG TANGKURAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang