Bab 9 Semangat Syakila

Start bij het begin
                                    

Nala menundukkan pandangannya karena tak sengaja berserobok dengan pandangan Miza yang juga tengah melihatnya. Miza tersenyum lalu membawa Syakila masuk mobil.

"Kakak udah ketemu sama Kak Nala?" tanya Syakila.

"Sudah." Miza menyalakan mobil dan mulai berjalan.

"Kak Nala baik banget, Kak. Tapi sayang, senyumnya sedikit." Syakila mengutarakan pendapatnya. "Dia ngajarin aku pelan-pelan dan sabar, tapi senyumnya enggak banyak. Kadang aku minta Kak Nala buat senyum biar aku tambah semangat."

"Oh, ya?" tanya Miza memastikan dengan pandangan yang tertuju ke depan. "Yang penting dia baik, kan?"

"Iya." Syakila setuju. "Kata Mama, enggak senyum bukan berarti orang jahat."

"Adik pinter." Miza menyempatkan diri mengucek-ucek kepala Syakila gemas. Ia penasaran, orang seperti apa Nala sehingga membuat Syakila begitu bergantung padanya. Gadis kecil yang tidak mudah beradaptasi dengan guru baru, kini begitu memuja sang guru. Kata Mama, bahkan di pertemuan pertama sudah menaruh kepercayaan besar pada Nala.

Syakila menyentuh kepalanya. "Dua orang sudah mengusap kepalaku. Semoga hasilnya baik," ucapnya penuh senyuman.

Miza menoleh membalas senyuman gadis kecilnya.

"Tap, sayang Mama sama Papa enggak," kata Syakila sedih. "Mama juga enggak bisa dampingi aku. Katanya hari ini ada rapat penting dosen di kantornya."

Miza kembali mengusap pucuk kepala adiknya selagi menyetir. "Hei, Adek sayang." Miza meminta Syakila mengangkat kepala dan menatapnya. "Kan, masih ada Kakak di sini. Kakak yang dampingin, emangnya enggak cukup?"

"Mau Mama," rengek Syakila. Ia yang mood -nya cepat sekali berubah membuatnya selalu di luar dugaan.

"Mama harus kerja. Satu kewajiban juga untuk mama kita sebagai Dekan kampus," ucap Miza member pengertian.

"Ini juga keawajiban Mama buat damping anaknya," celetuk Syakila. "Lebih penting mana, anak apa kerjaan?"

Nah! Kalimat ajaib Syakila akhirnya keluar juga, yang membungkam kakaknya sekaligus. Cerdas. Miza hanya bisa diam. Ia tak ingin mendebatkan perihal ini yang khawatir akan berujung meruntuhkan semangat 45 adiknya. Tapi, jauh di lubuk hatinya yang dalam ia menyesalkan Mama juga yang tidak bisa hadir menemani si bungsu.

"Gimana kalau hari ini Kakak temenin Syakila seharian. Pagi ini, pas tes, pulang sekolah, juga. Abis itu kita main," cetus Miza. Ia terpikir ide yang tidak ia yakin apa Syakila akan menerimanya.

"Tapi, Kan, Kak Miza harus kerja. Pasiennya pasti sekarang sedang menunggu," Kata Syakila lirih.

"Enggak apa-apa. Om Randy bilang tidak ada pasien untuk temu janji hari ini." Miza berbohong pada adiknya. Ada pasien yang hari ini akan datang ke klinik untuk berkonsultasi dengannya.

"Benaran, Kak?"

Miza mengangguk.

"Yeay!!!" sorak Syakila menggema dalam mobil. Ini yang selalu ditunggu Miza. Syakila selalu bahagia.

***

Selesai membantu Mbok Siti di dapur. Nala kembali ke kamarnya. Hatinya gelisah mengingat Syakila yang akan menjalani tes hari ini. Ia harap-harap cemas. Apakah Syakila berhasil hari ini? ia merasa murid kecilnya itu masih memerlukan persipan untuk memulai tes.

"Syakila tidak memberi tahu pasti tentang surat apa yang akan di hapalnya hari ini," gumam Nala. Cemas. Ia berjalan bolak-balik di teras depan kamarnya.

"Ada bacaan surat yang Syakila masih belum lancar." Ini membuatnya semakin gelisah. "Ya Allah, gimana jika sampai Syakila tidak lolos lagi. pasti kena marah Bu Murni. Kasihan Syakila."

Ia merapal doa secara tidak sadar untuk menukung Syakila dari kejauhan. Seminggu belajar belum cukup bagi murid kecilnya menghadapi tes, menurutnya. Baru kali ini ia mengajar dengan berada di bawah tekanan target dan tujuan dadakan. Anak kecil pula yang diajarinya.

"Apapun yang terjadi semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kamu, Dek," harapnya.

***

"Syakila Rahmania." Seorang guru panitia memanggil nama Syakila untuk naik ke atas panggung menerima tantangan ujian.

Di aula sekolah, tempat di mana tes berlangsung telah banyak siswa atau peserta yang hadir dengan didampingi oleh orang tuanya. Para orang tua duduk dengan penuh harap di kursi audience menyaksikan anaknya di uji.

Miza duduk di bangsu barisan paling depan. Doa dan harapnya penuh untuk adik tersayang. Meski tiada Mama dan Papa di sini, semoga kehadirannya tidak mengurangi semangat si adik tersayang.

Syakila sudah berdiri di atas panggung dengan tegak dan keyakian penuh siap menjalani ujian.

"Tolong dengarkan dengan seksama. Setelah guru selesai membacakan sebuah ayat, silakan disambung dengan baik dan benar," perintah Bu guru. "Siap?"

"Siap!" jawab Syakila lantang.

Bu guru membacakan Ta'awudz dan Bismillah sebelum membacakan Ayat Al-Qur'an tujuan. "Wakadzdzaba bil Husnaa. Lanjutkan."

Syakila bergemingketika Ayat Al-Qur'an selesai dibacakan. Ia malah menatap seluruh yang hadir diruangan itu. Ia pula menatap kakaknya yang cemas.

"Syakila?" tegur Bu guru.

"Syakila?" tegur Bu guru

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.
Takdir, Jangan MenolakkuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu