Ketakutanku & Kekuatanku

Mulai dari awal
                                    

Aku jadi kepikiran Dony yang saat ini belum pulang juga kerumah. Apakah mbak Vania akan benar-benar mengambil Dony dariku?

**
Hilman

Aku tersentak saat telphone masuk di handphoneku. Dan aku semakin bingung melihat istriku yang menghubungiku di jam 12 siang ini, dia tidak biasanya menghubungiku saat makan siang. Aku menerima panggilannya, tiba-tiba saja aku khawatir berlebih padanya. Mengingat usia kandungannya sudah 7bulan.
"Iya sayang, apa terjadi sesuatu dedek bayi baik-baik saja kan? Atau kau merasakan sesuatu sayang?" Tanyaku panik.
"Aku baik mas, begitupun dengan dedek bayi. Mas jemput Dony sekarang ya, pokoknya aku tunggu 1 jam lagi mas harus sudah sampai rumah. Love you bye," Aku baru saja ingin membalas ucapannya eh sudah di putus duluan. Aku menghela nafas dan segera bergegas untuk melaksanakan perintah istriku.

Aku tiba di sekolah Dony, dan betapa terkejutnya aku saat melihat bajingan itu ada disana bersama Vania. Dengan langkah seribu aku berjalan dan langsung meraup Dony di dalam pelukanku.
"Dony kita pulang nak, Bunda sudah menunggu Dony dirumah," Ujarku mengecup keningnya.
"Ayah, tante jahat memaksa Dony ikut mereka. Dony tidak mau Ayah, tante ini yang membuat kak Lily menangis dulu," ujarnya menyembunyikan wajahnya di balik punggungku.
"Dony tidak akan kemana-mana. Sekarang kita pulang, Bunda sudah rindu dennganmu katanya," Ujarku lagi.
"Tentu, Dony bahkan sangat merindukan Bunda. Dedek bayi juga pasti rindu sama abang, iya kan Ayah?" Tanyanya. Aku mengangguk dan mengecup rambutnya yang bau matahari.
"Jangan pernah bermimpi untuk bisa membawanya. Sejak di dalam kandunganmu dia sudah menjadi hakku, dan kau. Aku bisa menghancurkanmu sampai kau tidak bisa kembali ke negaramu. Cukup kau menghancurkan rumah tanggaku, tidak akan kubiarkan kau menghancurkan kebahagian keluargaku." Ujarku menatapnya tajam.
"Weits dia benih gue bro, dan betapa kasihannya dirimu. Mengurus anak dari selingkuhan istrinya," Aku menatapnya tajam.
"Aku tidak merasa kalah dengan mengurus benihmu. Karena dengan begitu aku akan menang dalam sidang merebutkan dia. Apa kalian pikir aku tidak tahu jika dulu kau dan dia hampir membunuhnya? Silahkan kalian laporkan aku atas hak asuh miliknya. Karena aku sudah menyiapkan segalanya dari dulu, anak yang lahir di luar pernikahan dan dari hasil perselingkuhan maka tidak bisa di bawa kasusnya ke pengadilan agama." Ujarku menatap Vania melecehkan. Aku bukan orang jahat yang memandangnya rendah, karena akupun tidak lebih baik darinya. Aku hanya memperingati dirinya.
"Apakah aku tidak bisa memiliki satu dari mereka?" Tanyanya menunduk.
"Vania, Vania. Apakah dulu kau meminta hal ini saat kau mabuk akan cintamu padanya. Aku berharap saat perpisahan dulu meski kita tak lagi bersama, kau bisa menjadi ibu yang baik dan mau mengurus mereka bersama-sama denganku. Namun kau malah membuat dirimu layaknya gadis belia yang baru saja merasakan cinta dan melupakan jika kau telah memiliki 3 orang anak. Aku memiliki wanita yang mencintai anak-anakku setulus hati, dan aku tidak lagi membutuhkan tenaga darimu. Karena dia sudah besar dan tahu jika aku adalah ayahnya dan istriku ibunya. Bukan kalian berdua," aku sudah muak dengan akting murahan miliknya.

Aku memasuki mobilku, sekarang aku tahu kenapa istriku tiba-tiba saja memintaku menjemput Dony. Pasti mereka sudah meneror istriku. Aku menatap Dony di jok penumpang yang masih diam tanpa expresi.
"Dony jangan cerita apapun dengan Bunda ya nak. Kasihan Bunda sejak tadi mengkhawatirkan Dony." Ujarku mengusap rambutnya yang coklat seperti milikku. Percayakah kalian jika anak yang di rawat dari bayi akan memiliki kesamaan denganmu bahkan walau sedikit? Dulu aku tidak percaya namun sekarang aku percaya. Bahkan banyak yang mengatakan Dony seperti salinan dariku.
"Dony janji, Dony tidak mau bertemu tante tadi lagi." Ujarnya menunduk.
"Dony tidak akan bertemu mereka lagi Ayah janji," ujarku lagi.

Aku menatap istriku kesal saat dia berlari dari dalam rumah. Aku tahu dia pasti takut Dony tidak bersamaku, namun melihat perut besarnya aku lebih takut terjadi sesuatu padanya.
"Dony anaknya Bunda, ohh Bunda sangat khawatir sampai merasa perut bunda melilit," Ujarnya santai mengecupi pipi gembul Dony. Aku masih menatapnya tajam.
"Terimkasih sayang kau membawa pulang pangeranku" Ujarnya mengecup pipiku sekilas. Aku tidak merespon.
"Sekarang masuk, ganti baju biar Bunda suapin makan ya," Ujarnya menggandeng lengan mungil Dony.
"Ayah ayo masuk," Dony meraih jemariku untuk di genggam.
"Bunda jangan lari-lari Ayah melotot saat Bunda tadi berlari. Lagipula pasti dedek bayi pusing Bunda lari-lari seperti itu," Bagus Dony ingatkanlah Bunda jika Ayah kini tengah naik pitam. Batinku. Syafa menatap Dony sebentar lalu menatapku dan raut wajah bersalahnya kini mendominasi wajah cantiknya.
"Dony masuk dulu ya, Bunda mau bicara sama Ayah dulu." Ujarnya tersenyum hambar pada Dony.

Dony mengangguk dan langsung pergi ke kamarnya. Ya putraku itu kini sudah mendapatkan kamar pribadinya sendiri, meski begitu tiap malamnya aku dan Syafa harus menidurkannya lebih dulu agar kami bisa tidur.
"Mas maafkan aku, aku tahu aku sudah melakukan hal berbahaya tadi. Kau tidak bisa menyalahkanku karena aku khawatir, tadi ada Laki-laki menghubungiku dan mengatakan jika Dony sudah besar dan diurus dengan baik. Aku takut mbak Vania mengambil Dony," Ujarnya kini terisak. Ya Allah mana mungkin aku bisa marah jika dengan begini saja hidung mungil mancungnya sudah merona karena menangis.
"Aku tahu, aku tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya. Dan untuk kesalahan tadi jangan di lakukan lagi. Kau membuat jantungku hampir lepas," Ujarku mengecup keningnya dan tak lupa mengelus perut besarnya, dia mengangguk menyenderkan pipinya di dadaku. Aku mengelus kepalanya yang tertutup kerudung rumahannya.

**
Author

Syafa terlihat bersandar di dada bidang suaminya. Dan ke tiga anaknya sibuk dengan buku masing-masing. Ed yg tengah sibuk mempelajari buku bisnisnya, dan Lily yang juga sibuk mempelajari buku fisikanya. Sementara Dony bocah tampan itu tengah sibuk mewarnai.

Senyum terus saja terpancar dari sudut bibir mungil Syafa, dengan bersama-sama seperti ini saja sudah membuat ia sangat bahagia. Karena pada dasarnya kuat dan takut itu datang dari orang-orang yang dia cintai. Takut akan hak nya sebagai ibu yang mengganti di pertaruhkan, kuat dia akan kuat apapun yang menerjang rumah tangganya jika saja semua bersamanya. Termasuk anak-anak dan suaminya.
"Terimakasih mas, sudah memberiku 1 putri dan 3 pangeran." Syafa berujar menatap Hilman dengan tangan yang mengelus perut besarnya.
"Aku yang lebih pantas berterima kasih karena kau memberikan warna di kelahiran keduaku sebagai suami. Aku sangat mencintaimu demi Allah," Ujar Hilman mengecup kening Syafa.
"Aku juga mencintaimu karena Allah mas," Balas Syafa memeluk erat Hilman.

Bahagia itu tidak butuh kau pergi ke luar negeri hanya untuk mendapatkan kan quality time bersama keluarga. Karena di dalam rumah saja kau bisa mendapatkan waktu yang berharga dengan berkumpul bersama anak dan suami maupun istri.

Pria TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang