AL

317 12 0
                                    

Beritahu aku kalau mungkin saja aku keliru.

Zoey tertawa geli saat tengah duduk berdua bersama Al di meja makan, menunggu Ella yang tengah menyiapkan sarapan. Al mengusap kepala Zoey. Situasi ini membuat Al merasa benar-benar berada di rumah.

Tapi Ella dan Zoey bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Mereka bertiga bukan sebuah keluarga.

"Aww!" Terdengar Ella menjerit.

Al langsung memasuki dapur, ikut terkejut. Ia menghambur ke dekat Ella. "Tanganmu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa." Ella tersenyum kaku. Ia menurunkan tangannya.

"Coba aku lihat." Al mengulurkan tangannya, tahu kalau Ella sedang menahan sakit.

Ella menyembunyikan tangannya. "Tidak apa-apa. Nanti juga sembuh."

"Coba aku lihat, Ella."

"Tidak usah..."

Sebelum Ella menyelesaikan kata-katanya, Al sudah meraih tangannya. Ia memperhatikan kulit tangan perempuan itu yang tampak memerah.

"Tidak apa-apa. Sungguh," elak Ella.

Tidak mendengar ucapan Ella, Al justru segera membuka lemari dinding, mencari mentega. Setelah menemukannya, ia membawa ke dekat Ella.

"Aku bisa melakukannya sendiri," ujar Ella sambil menjulurkan tangan ke arah mentega.

Al menyendok mentega. "Kemarikan tanganmu."

Ragu-ragu, Ella menggerakkan tangannya yang melepuh merah ke atas telapak tangan Al.

Laki-laki itu mencolek mentega dan mengusapkannya ke luka melepuh di punggung tangan Ella.

Mendadak seluruh sel di dalam tubuh Al seolah bergetar ketika menyentuh tangan Ella. Ia merasakan keinginan untuk menelusuri kulit Ella lebih jauh lagi.

Al menelan ludah.

"Sudah lebih baik," Ella menarik tangannya. Perempuan itu berbalik kembali ke teko.

Al mencuci tangan di bak cuci seraya menarik napas untuk menenangkan debar jantungnya, lalu mengembalikan perhatian pada Ella. Tapi itu kesalahan besar. Pemandangan tengkuk Ella yang tidak tertutupi gelungan rambutnya dari lingkaran bagian belakang gaun hamilnya, membuat reaksi dalam diri Al berdebar lebih kuat dari sebelumnya.

Al segera masuk ke kamar mandi. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan debar jantungnya dan mengembalikan udara ke dalam paru-parunya. Berusaha menghilangkan reaksi dan dorongan yang muncul.

Ada apa dengan dirinya?

Al baru pernah merasakan otaknya hanya terpaku pada satu orang: Ella. For God's sake, Al tidak tahu bagaimana mengatasi hal semacam ini!

Mungkin pikirannya sedang kacau, putus Al. Sebaiknya ia segera ke kantor daripada harus mengambil risiko ia kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang akan ia sesali. Terlebih harus membayar denda.

***

"Apa yang kaulakukan kalau kau tinggal bersama seorang perempuan yang baru kaukenal? Ya, mungkin tidak benar-benar baru kaukenal, hanya baru pernah lebih dekat?" tanya Al pada Ben ketika mereka makan siang di sebuah kafe. Ben berada di Vancouver, yang hanya berjarak dua-tiga jam dari Seattle membuat mereka sering bertemu.

Ben menatapnya. "Aku tidak pernah mengalami yang seperti itu."

Al meletakkan garpunya. "Aku merasa Ella akan sulit kuhadapi."

"Kau coba dekati dia." Ben menyuap makanannya.

"Aku serius, Benji."

Ben mengangkat alisnya. "Maksudku, coba kau ajak dia ngobrol. Biar kalian saling mengenal. Setahuku, Ella orang yang menyenangkan, kok."

Al berpikir sejenak seraya meneguk minumannya. Dia menatap kosong ke seberang kafe yang penuh itu, membayangkan Ella. Sosok Ella ketika bergerak kesana-kemari di rumah, aroma lembutnya yang tercium samar-samar...

"It's not a big deal, right?" tanya Ben.

Al tersadar. Ia mengangkat bahu. "Kau benar. It's not a big deal."

Ben menanggapi sambil mengunyah. "Kecuali kau mulai jatuh cinta padanya."

"Jangan bicara sembarangan," dengus Al.

***

Ibunya ternyata belum menyerah. Masih berupaya menjodohkan Al dengan anak temannya. Kali ini dengan perempuan bernama Carissa Lim. Perempuan keturunan Indonesia - Tionghoa yang bekarier di Amerika Serikat. Kebetulan Carissa sedang berada di Bellevue, distrik yang berjarak empat belas menit dari Seattle.

Menuju pukul lima sore, Al memutuskan menelepon Carissa. Dia menempelkan telepon ke telinga, sementara tangan yang lain mengetuk-ketuk meja kerjanya.

"Halo." Terdengar suara seorang perempuan di seberang.

"Carissa, ini aku Aldebaran Sahil," kata Al.

"Oh. Hai." Carissa terdengar agak canggung.

"Kita ada janji di 10961 NE 2nd?" tanya Al.

"Pukul tujuh di Aloe Cafe." Carissa membenarkan.

Al melihat jam di pergelangan tangannya. "Mau aku jemput atau kita bertemu di sana saja?"

"Emm... aku masih ada urusan, sih, sore ini. Kau tidak keberatan, kan, kalau kita bertemu di tempat janjian saja?" jawab Carissa.

"Tidak masalah. Sampai bertemu kalau begitu." Al menutup telepon.

***

"Maaf aku terlambat," kata Carissa ketika tiba di hadapan Al.

Lelaki itu tersenyum, lalu bangkit dari kursi menyambutnya. "Tidak apa-apa." Al menjawab dengan nada ramah dan sopan. Dia mengulurkan tangan kepada Carissa. "Aldebaran Joshua Sahil. Panggil saja Al."

Carissa meraih tangan itu dan menjabatnya. "Carissa."

Al mengangguk. Dia mempersilakan perempuan di hadapannya duduk. "Kau bekerja di mana kalau boleh tahu?" ujarnya ketika mereka sudah sama-sama duduk.

"Advertising agency. Aku desainer grafis." Carissa menjawab sebelum meraih buku menu di atas meja.

Mau tidak mau ingatan akan pertemuan pertama Al dengan Maura kembali dalam benak Al. Bagaimana Maura tersenyum dan bercerita dengan riang tentang pekerjaannya.

"Al?" ucap Carissa.

Al pun tersadar dari pikiran masa lalunya. "Ah ya. Maaf tadi aku teringat soal pekerjaan, jadi tidak fokus. Gimana? Kau bertanya apa?"

"Aku bertanya, kau sendiri bekerja di mana?" tanya Carissa.

"Oh." Al jadi salah tingkah sendiri. "Aku bekerja di perusahaan cokelat. Di bagian marketing."

Carissa mengangguk-anggukkan kepala.

Percakapan pun berlanjut. Tapi tidak lebih dari sekadar obrolan basa-basi.

***

Sepasang mata Al memperhatikan mobil yang dikendarai Carissa menjauh hingga menghilang dari pandangan. Dia tidak beranjak dari tempatnya berdiri.

Carissa sama sekali tidak menggugah hatinya. Jauh dari tipe perempuan yang bisa memikat perhatiannya. Sangat jauh. Entah apa yang dipikirkan ibunya sampai mengenalkan perempuan seperti Carissa.

Seperti biasa, ibunya tidak ingin dibantah dan terus membujuk Al agar mau bertemu perempuan pilihannya.

Pikiran Al justru tertuju pada Ella dan Zoey yang berada di rumahnya. Khawatir terjadi sesuatu pada mereka berdua kalau dia meninggalkan rumah sampai larut.

***

Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now