03. Kuhabiskan Semua Untukmu

304 34 23
                                    

Hana benar-benar membutuhkan selaksa masa 'tuk menerima dan memahami apa yang terjadi sebenarnya entah kepada Maira atau bahkan puluhan orang nan berada di panti asuhan. Perempuan itu melayangkan tatap kosongnya dengan luruhan tangis yang mulai menghiasi durja semasa dua mata merekam bagaimana beberapa petugas kesehatan jua kepolisian datang. Hana tanpa mengatakan apapun, lantas menghampiri daksa ibundanya dengan gemetaran.

Sedangkan di pintu gerbang panti asuhan, Lao tetaplah bergeming tak mengatakan apapun seraya memandang raga yang kehilangan atmanya itu dengan polesan ekspresi terkejut bukan main. Sedang di sana, Hana pun tampak dibuat bergeming sebab kenyataan bila Maira telah mati sangat menamparnya. Dengan perlahan dirinya hampiri sang perempuan lantas memeluknya 'tuk ditenangkan. Ia kini mendengar bagaimana Hana menangis pada peluk hangatnya.

Tentu saja kejadian ini mampu membuat entah Hana maupun Lao merasa kehilangan sebagian hidupnya. Dari masa kecil, baik sang puan dan sang tuan, dua bocah nan sudah tumbuh menjadi orang dewasa itu memang mempunyai nasib sama; ditinggal pergi oleh keluarga aslinya. Maira bagi Hana bagaikan malaikat tanpa sayap nan mengubah perspektifnya tentang kehidupan. Dan Maira bagi Lao adalah seorang ibu baik hati yang selalu menyemangatinya.

Namun, apakah Tuhan harus membawa Maira pulang?

Hana mendongak pelan. "Ibu ... dia ... harusnya ... aku saja ... kumohon ... jangan bunuh ... ibuku karena ... akulah yang—"

"Tenangkan dirimu sebentar, Naka-chan." Lao memotong ucapan sang puan yang terdengar berantakan karena shock. Dan ia sangat paham manakala jalan pikir Hana sedang kusut sebab sebelumnya adiratna ini sempat bersua dengan seseorang nan pernah menjadi perusak utama dalam hidupnya. Kini pun, pemilik iris jelaga ini harus menerima kenyataan apabila ibundanya sudah ditiadakan.

Hana lagi-lagi termangu. Dirinya masih berada dalam rengkuhan Lao dengan pikiran melayang bebas. Siapa yang membunuh sang ibunda? Apakah kesalahan yang dilakukan oleh Maira? Ataukah semua ini berhubungan dengan kunjungan Takara beberapa hari lalu? Manakala ini kebenaran, bolehkah raga penuh dosanya kini benar-benar membunuh seseorang? Akan tetapi, bagaimana bila Takara bukanlah pembunuh sang ibundanya tersayang? Siapa?

Lao merekatkan dahinya pada dahi sang laksmi. Biasanya dengan cara ini Hana akan tenang, kemudian berhenti menangis. Namun, sepertinya sekarang nelangsa yang diderita sangatlah menyiksa batin sampai-sampai membuat Hana menyerukan kata ibu ketika petugas kesehatan memasukkan mayat Maira nan sudah berada di mobil ambulans dibawa pergi menuju krematorium. Tangis makin mengencang seiring lembayung di cakrawala hilang eksistensinya.

"Okaa-san! Okaa-san!" seru Hana seraya berusaha melepaskan pelukan Lao yang malah semakin kuat. Sengaja Lao lakukan ini agar Hana tak berbuat gegabah dan menenangkan dirinya. Walau ia tahu, manakala Hana benar-benar sudah tidak bisa ditenangkan oleh siapapun. Kejadian ini memukul telak kalbu mereka berdua.

Di sisi lain, Cobra tampak sedang memikirkan pesan anonim yang mengatakan bila Hana berada di Toarushi. Rasanya kaget, senang, dan sedih bahkan marah bercampur satu pada sanubari sehingga senyuman tanpa disadari terulas. Sedang apakah gadisnya di kota itu? Sudahkah gadisnya di sana mengulaskan senyuman? Ataukah keadaannya sedang buruk? Ah, Cobra tak bisa memprediksi Hana sekarang karena ia bukanlah seorang cenayang. Ia hanya seorang pemuda tolol buta cinta yang merindukan adiratna terkasihnya.

Cobra nan semula tengah duduk santai di Hino Oil, mendadak terkesiap tatkala seseorang nan dulu pernah memasuki ceritanya bersama Hana datang. Cobra serentak berdiri dan melayangkan tatap tajam kepada taruna yang kini rupanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Ia ingin sekali menghajar orang ini untuk meluapkan berbagai kekesalan yang dirinya pendam. Namun, sekarang, 'tuk ucapkan sesuatu pun labium ini terasa dibungkam oleh gembok.

𝗦𝗘𝗡𝗔𝗡𝗗𝗜𝗞𝗔. TodorokiWhere stories live. Discover now