Karena aku cuma mengangguk, ia inisiatif mengisi piringku dengan satu klepon lagi. Aku memakan satu. Ia memperhatikanku dan menunggu reaksiku. "Enak?" tanyanya.

"Hm, manis."

"Kayak saya?" tanyanya sok menggodaku.

"Iya."

Ia memilih kueh lagi sementara aku mengunyah klepon kedua sambil tersenyum jenaka. Kali ini dia mendaratkan cinnamon roll ke piringku. Ketika aku mencicipi, dia tidak lagi bertanya pendapatku. Aku terkekeh dalam hati.

Dia yang mulai kok dia yang salah tingkah.

Ia mengambilkan kueh lain lagi. Kali ini tart mini blackforest dengan rasa sirop cherry yang kuat begitu mendarat di lidahku. Aku sengaja menatap wajahnya saat bilang, "Lebih manis dari kamu yang ini."

"Aduh, sedih deh saya," balasnya bercanda. Sudah berani lagi sekarang. "Masih mau nyicip yang lain, Pak?"

"Udah kenyang."

"Oke." Dua jempolnya diacungkan kepadaku. "Kalau gitu saya ke sana dulu, ya, Pak."

"Mau ke mana?" cegahku. Dia menatapku dengan muka bingung mencari jawaban. "Belum ke pelaminan kan? Ayo sama saya aja!"



"Selamat, ya, Sil."

"Makasih, Pak Gagas. Eh, Pak. Foto dulu ya, Pak, ya! Please! Kapan lagi foto sama Pak Gagas coba." Silvy menahan jabatan tangan kami erat di atas pelaminan.

Aku terkekeh. "Boleh. Pak Robert, foto dulu, Pak!" Pak Robert yang sudah mau turun dari pelaminan kupanggil dan kembali. Lalu aku juga memanggil Rose yang mengantre di belakangku dan sudah berancang-ancang mau mundur. "Rose, sini sekalian! Nanti kamu nggak ada temen foto lagi."

Aku melihatnya terpelongo di tempat. Untung Silvy menariknya.

Aku menyejajarinya yang sudah berdiri di sebelah Silvy dengan tampang terpaksa, sementara Pak Robert ada di sebelah mempelai pria.

"Rapat dikit lagi!" komando sang fotografer. Aku reflek mengikuti arahan tersebut. Merapat dengan Rose dengan sebagian bahu kananku ada di belakang bahu kirinya.

Rose yang kini jadi sangat dekat denganku menoleh dan mendangak. "Pak," panggilnya dengan sedikit protes dan pelan.

Aku tetap menatap ke kamera.

"Pak, geser ke sana dikit dong!" pintanya jelas. Lewat ekor mata, aku tau Silvy menoleh ke arah kami, tapi tetap kuabaikan. Aku tetap tersenyum ke kamera.

"Gagas," panggilnya, akhirnya, "tolong agak geser!"

Senyumku kutahan. Aku akhirnya menoleh, tapi belum bergerak.

"Tolong agak geser!" pintanya lagi.

Kubalas tatapan jengkelnya dengan gelak kaget. Lalu kataku sambil sedikit geser ke arah lain, "Sorry, Rose. Fotografernya minta kita rapat."

Mukanya yang sebal nggak ditutupi lagi. "Ini Sabtu, Pak, nggak ada rapat-rapat."

Pak lagi. "Gagas!" tegasku.

Jawabannya itu lucu, tapi aku lebih gemas karena dia terus memanggilku pak.

Cuma dengan lirikan mata indahnya dia membalas. Lalu melengos jelek dan mulai memperhatikan instruksi kameramen.

Setelah dua kali jepretan, fotografer memberi kami jempol tinggi yang mengisyaratkan sesi kami selesai. Aku hampir mengucapkan kata kepada Rose, tapi wanita itu lebih dulu melangkah maju sambil menyalami kedua mempelai.

Padahal aku cuma ingin mengajaknya foto berdua dengan mempelai, tapi dia kelihatan ingin sekali segera kabur dariku, jadi aku urung memanggilnya. Aku cuma mengikuti langkahnya yang cepat-cepat menuruni dua anak tangga di ujung pelaminan.

Karena buru-buru, jarik lipit dipadu heels setinggi anak tangga kantor yang ia kenakan hampir saja membuatnya nyungsep ke semak-semak buatan di bawah pelaminan. Untungnya, dia berhasil berpegangan pada seorang kameramen yang kebetulan selangkah di depannya. Untungnya lagi, mereka tidak ambruk bersama.

Aku ingin menyalahkan heels dan jariknya yang menyusahkan, tapi aku menasihati diriku sendiri; Tampil cantik memang butuh pengorbanan.

Aku maju menyejajarinya setelah dia dua kali meminta maaf pada kameramen. Pipi memerah karena make-up nya makin merona. "Malu banget," cicitnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

"Padahal tangan saya kosong dari tadi, kenapa nggak dipake pegangan aja?"

Dia menatapku terkejut dan setelah sadar langsung melangkah pergi sambil memalingkan wajahnya yang makin kemerahan.

Aku terkekeh di tempatku.

Salah nggak sih aku suka menggoda staffku sendiri?

Pak Robert menghadangku dengan Johan tak jauh dari pelaminan. Mau tak mau aku berhenti dan ikut obrolan mereka, meski sebenarnya aku masih ada perlu dengan Rose.

"Sudah cicipi gulainya, Pak?" tanya Johan tau-tau, bikin aku mengernyit. "Tadi saya ambil gulai barengan Bu Widi. Terus Bu Widi nyetus kalau Pak Kaban hobi makan gulai, gitu."

Aku menertawai penjelasan Johan sambil mengangguk-angguk. Padahal sebenarnya yang hobi gulai itu ibuku, bukan aku. "Tadi sebelum ke sini malah udah makan sama keponakan. Masih kenyang."

"Sekarang Pak Kaban lagi suka kueh manis, Jo," sela Pak Robert bergurau.

Johan membelalak tertarik sampai kepalanya miring ke kiri. "Wah, kalau saya sih malah udah disuruh ngurangin makanan manis sama istri. Mau ambil kueh aja nggak boleh."

Gara-gara tutur Johan aku tersindir untuk dua hal; satu, tua; dua, tuna istri. Asem juga. Jawabanku selanjutnya cuma kata-kata diplomatis karena langsung keki padanya. "Larangan istri itu kebanyakan buat kebaikan kok, turutin aja."

Johan tertawa cenderung menyetujui, meski aku jadi merasa diketawai. "Tapi pak kaban walau belum ada yang melarang-larang, jangan kebanyakan makan manis lho, Pak."

Wah, kurang ajar ini orang.

"Nggak ada istri, kan, ada bu dokter," celetuk Pak Robert, bukannya menormalkan malah memperparah. Aku tau banget dia sengaja memilih kata ambigu begitu. Otak cowok.

"Lho, kok gitu, Pak?" Johan tergelak dan seringai kotor sudah bermain di mukanya. Cowok ini lagi. Isi otak nggak pernah bersih. "Kasian suami bu dokter dong kalau gitu."

"Halah, Jo, pikiranmu ke mana-mana!" tegurku dan Johan cuma terkekeh santai.

"Ya, gitu kalau mainnya ke semak-semak segitiga," timpal Pak Robert padahal dia yang memancing. Memang nggak ada yang beres kalau bapak-bapak ngobrol.

"Tapi kueh manis yang ini aman lah buat kaban." Pak Robert lagi-lagi menyinggungku dan kueh manis. "Belum ada semutnya. Ya, Pak?"

Asem. Aku baru sadar dari tadi itu Pak Robert mengolokku.

SEMUA ADA WAKTUNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang