Menjadi pimpinan satuan kerja di lingkungan Pemkab dan masih single emang kasus agak khusus. Saat rekan-rekan sejawat datang ke berbagai event didampingi sang suami atau istri, aku ditemani sekretaris badan atau terkadang ibu kalau beliau sedang senggang. Jadi bisik-bisik, biasa.

Jangan harap sekretaris yang kumaksud selalu wanita muda, cantik, dan berpenampilan seperti Luna Maya. Malah belum pernah kutemui yang seperti itu, mungkin malah nggak akan pernah. Sekretaris di instansi Pemkab mayoritas berusia hampir lima puluh tahun atau lebih, sudah bercucu, anaknya yang masih single pun jarang.

Namun walau masih single sampai di ujung masa kritis, pangkat menyelamatkanku dari bulan-bulanan sembarang kenalan. Pada segan. Itu enaknya punya pangkat.

Usai upacara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan, hiburan ditampilkan dan para undangan dipersilakan menikmati sajian. Aku nggak terlalu berselera makan. Jadi, aku cuma mengambilkan tengkleng dan lalapan buat ibu yang duduk bersahaja di salah satu meja bundar dengan lima kursi berjajar melingkar. Nggak lupa kuambil banyak timun buat mengimbangi daging kambing.

Ibu sedang mengobrol dengan Bupati Kotabaru, Ilyas Triharjanta, ketika aku kembali dari mengambil gulai. Pak Ilyas, aku memanggilnya, memang cukup dekat dengan keluargaku. Dia adalah junior bapak saat kuliah, mereka juga teman main tennis. Selain itu, bapak adalah salah satu mantan pejabat berpengaruh dan pernah menjadi Wakil Bupati. Maka nggak aneh hampir semua pejabat mengenal baik ibu yang dulu selalu menemani bapak di event apapun. Sampai saat ini pun keluargaku masih selalu mendapat perlakuan istimewa di lingkungan Pemkab.

"Lho kok ibu nggak diajak makan, Gas?" tanya Pak Ilyas menyambutku.

"Ini buat ibu kok, Pak. Saya mau berangkat tadi udah makan." Aku duduk di kursi sebelah ibu setelah mendaratkan piring gulai dan lalapan ke meja.

"Pak Ilyas nggak makan, Pak? Ini masa saya makan sendiri?" kelakar ibu basa-basi.

Pak Ilyas menjawab santai dan cuma menyilakan ibu makan. Beliau beralih padaku setelahnya dan tanpa tedeng aling-aling langsung menyinggung soal pasangan. "Gas, kapan nih yang dibawa tuh jodoh sendiri, masa jodoh Pak Untung terus yang dibawa?"

"Yah, Pak. Andai soal jodoh udah dijamin kayak kenaikan pangkat. Jelas jalannya, bisa diperhitungkan kapan datangnya, udah dari dulu saya jemput bola. Nggak bakalan nyulik jodoh bapak terus begini."

"Masa belum nemu?" sangsi Pak Ilyas sambil menertawaiku.

Aku ikut tertawa. "Ditemu kayak jodohnya ilang aja."

"Halah, bisa aja kamu ini."

Aku membalas dengan kekehan saja. Setelah itu pembicaraan kami pindah pada hal lain, hal-hal tentang birokrasi dan Kotabaru.

"Ilyas aja sampai nanya begitu, Mas, kamu nggak pengen cepet nikah?" Sudah kuduga. Muka ibu yang masam sejak Pak Ilyas menyinggung soal kejombloanku tadi emang gara-gara menahan pertanyaan ini.

Aku cuma terkekeh. Umur segini siapa juga yang nggak mau cepat menikah? Untung ibu sendiri. Kalian yang baca, nggak usah dibuat bercandaan nama bapakku!

"Adikmu aja udah ngasih dua cucu. Kamu kapan?"

Adikku, Astha, memang sudah menikah lima tahun lalu. Sekarang sudah punya dua anak. Istrinya seorang pramugari. Nama istrinya Kanaya Indraprasta, anak sulung salah satu mantan gubernur.

Gimana perasaanku dilangkahi adik? Dulu, kesal dan muak karena keluargaku terlalu membesarkan masalah itu. Sekarang biasa saja. Malah aku senang sudah punya dua keponakan yang bandel-bandel.

"Malah mesem-mesem aja. Kapan lho? Mama tanya beneran ini."

"Padahal Mama loh yang selalu nolak calon Gagas. Gagas tuh udah tiga kali bawa calon ke rumah. Ayo ingat lagi, ada nggak yang Mama approve?" Berhasil berkata begitu aku langsung dihadiahi cubitan di tengah lahan parkir.

"Kamu bilang gitu seolah Mama yang bikin kamu nggak nikah-nikah, Mas. Kamu aja yang nyarinya nggak maksimal."

"Nggak maksimal apa nggak persis sama mau Mama?" candaku menohok dan dapat lagi satu cubitan. Aku ketawa-ketawa aja setelah itu. Sampai kami masuk ke dalam mobil dan mengenakan seatbelt aku baru kembali bicara. "Gagas tau kok Mama mau menantu yang sempurna. Gagas oke-oke aja, Ma, tapi ya itu, kapan dapatnya Gagas nggak bisa jamin, yang jelas lama."

"Ya Gusti, semoga anakku yang suka bersilat lidah ini segera dapat wanita yang sempurna seperti keinginanku. Syukur-syukur di kantor barunya. Amin."

Aku terkekeh. Akhirnya, mengaku juga maunya menantu sempurna.

"Amin gitu lho, Mas!"

"Mama coba jadi mertua sempurna dulu, nanti pasti cepat dapat menantu sempurna."


























#Curhat dikit. Cerita ini dibuat buat mengenang nyokap.

SEMUA ADA WAKTUNYAWhere stories live. Discover now