TANDA TANYA BESAR

7 0 0
                                    

"Om! Aku udah dewasa, aku harus tau semuanya! Gimana kondisi Ayah, Om? Kenapa aku nggak boleh lihat Ayah? Seberapa parah kondisi Ayah, Om?" Gyu terus menerus mencecar dokter Arza dengan pertanyaan yang sama.

Dokter Arza menatap iba remaja tujuh belas tahun itu. Anak laki laki tertua sahabatnya, anak yang penuh tekad, dan tak kenal putus asa, persis seperti ayahnya.

"Om belum bisa menjelaskan kondisi Ayah karena masih observasi, Gyu. Om dan tim dokter harus melihat perkembangan kondisi ayahmu dulu," jawab dokter Arza.

"Kondisi awalnya aja Om! Kondisi awalnya! Om, tolong Om. Aku harus tau kondisi Ayah! Pak polisi juga nggak mau ngasih tau. Sekarang Ibu dirawat karena shock. Senna dan Nara terus terusan nanya sama aku. Aku harus gimana Om? Aku harus jawab apa?" Gyu mulai emosional lagi. Ia terus menerus berteriak dan meminta penjelasan pada dokter Arza. Meski tak setetespun air mata terlihat, dokter Arza bisa melihat kesedihan anak itu.

"Gyu, nanti Om ceritakan kondisi Ayah, Om janji, setelah ini Om akan ajak Gyu ke ruangan Om, dan Om akan ceritakan semua. Tapi bukan sekarang, Gyu harus sabar ya, nanti pasti Om ceritakan," bujuk dokter Arza. Gyu sudah bosan mendengar kata kata itu. Sejak Ayahnya dibawa ke rumah sakit ini dua hari yang lalu, dokter Arza selalu mengatakan hal yang sama. Tapi sampai sekarang Gyu belum juga mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya.

Gyu membiarkan dokter Arza dan semua tim medis yang lain meninggalkan ruang ICU, tempat Ayah dirawat. Ia menyeret langkah dengan lemah menuju ruang rawat dimana ibunya masih terbaring lemah. Sejak kejadian itu, Ibu masih belum bicara banyak dengannya. Hanya menangis dan terus menyuruhnya menjaga adik adiknya.

Ibunya masih butuh perawatan medis. Ia shock saat mendengar berita dari pihak kepolisian, bahwa Ayah Gyu ditemukan dalam kondisi penuh luka di sebuah perkebunan tebu yang jauh di pinggiran kota, tepat pada pukul dua dini hari.

Beruntung, saat itu ada beberapa warga yang baru saja pulang dari menonton pertunjukan wayang, dan tak sengaja melihat sebuah sepeda motor tergeletak di pinggir jalan. Mereka langsung mencari pemilik motor, karena mengira sepeda motor itu adalah korban tabrak lari.

Sesaat setelah itu, mereka melihat Ayah, tergeletak di tengah kebun tebu dalam kondisi mengenaskan dan sudah tak sadarkan diri. Mereka langsung menelepon polisi. Dan tak lama kemudian, pertolongan untuk Ayah segera tiba.

Saat itu juga pihak kepolisian menelepon Ibu setelah menemukan contact ibu yang di simpan di ponsel ayah dengan nama 'Istriku'. Dan detik berikutnya setelah kabar itu sampai ke telinga ibu, ia langsung tak sadarkan diri.

Gyu tidak bisa melupakan peristiwa itu. Sejak malam itu hidupnya berubah. Ibunya dirawat dalam kondisi shock, ayahnya masih ICU dan tidak tau bagaimana kondisinya sekarang, polisi terus menerus bergantian bertugas jaga di rumah sakit, dan juga di rumah, menjaga kedua adiknya. Dan Gyu serta kedua adiknya sampai hari ini belum bisa ke sekolah karena kondisi masih kacau balau.

"Gyu ..."

Gyu tersadar dari lamunannya. Ia segera menoleh ke arah suara seseorang yang memanggilnya. Sosok seorang pria terlihat membawa dua plastik besar di tangannya. Om Herdi.

"Om! Om kemana aja? Kenapa baru datang sekarang?" Gyu langsung menghampiri sahabat sekaligus rekan kerja ayahnya itu.

"Maaf Gyu, ada banyak hal yang harus Om selesaikan terkait masalah yang terjadi pada Ayahmu di kantor. Maaf kalau Om jadi terlambat menemui kalian," Ujar Om Herdi sambil meletakkan bungkusan plastik di tangannya ke atas meja.

"Iya Om, nggak apa apa. Maaf tadi aku marah sama Om," Jawab Gyu santun.

"Ibu gimana?" tanya Om Herdi sambil berbisik. Ibu Gyu masih tidur, matanya terpejam rapat dan nafasnya teratur.

"Ibu tidur terus, Om. Sekalinya bangun yang ditanya hanya soal makan. Aku sudah makan atau belum? Senna dan Kinara sudah makan atau belum? Cuma itu yang ibu tanya. Kalau sedang disuapi makan, ibu cuma mengunyah dengan tatapan kosong. Kepalanya juga masih sakit katanya, jadi cuma bisa tiduran terus. Sampai sekarang aku belum bisa nanya apapun sama Ibu," Jawab Gyu lirih.

"Jangan Gyu. Jangan tanyakan apapun dulu pada ibu. Biarkan Ibu istirahat dulu. Fisik dan mentalnya pasti lelah dan terguncang," cegah Om Herdi.

"Gimana keadaan Ayah Om?" tanya Gyu cepat.

"Nanti kita tanya sama Om Arza ya," jawab Om Herdi dengan nada menenangkan. Persis seperti seorang ayah yang sedang menenangkan anaknya yang masih balita.

Gyu menghela nafas. Ia ingin sekali mengetahui bagaimana kondisi Ayahnya. Kenapa semua orang seolah merahasiakannya? Ia sudah dewasa, sudah tujuh belas tahun. Kenapa masih diperlakukan seperti anak kecil?

"Memangnya seberapa parah kondisi Ayah? Kenapa mereka semua tidak pernah jujur?" keluh Gyu dalam hati. Ia benar benar kesal.

"Aku sudah tanya sama Om Arza, Om. Tapi jawabannya selalu sama, masih dalam tahap observasi. Nanti kalau sudah selesai Om Arza pasti menjelaskan semuanya. Tapi sampai sekarang tidak ada penjelasn apapun," keluh Gyu dengan nada kesal.

"Ya kalau begitu kita tunggu aja sampai observasinya selesai. Om Arza pasti nggak mau kamu salah menerima informasi, dan masih terlalu dini untuk menjelaskan kondisi Ayah sekarang," Om Herdi menjelaskan dengan sabar pada Gyu. Ia tau bagaimana kondisi psikologis anak usia tujuh belas tahun. Anaknya sendiri nyaris sebaya dengan Gyu. Dan harus sangat berhati hati berbicara dengan remaja seusia ini, jika tidak ingin mereka salah memahami.

"Tapi aku cuma mau tau kondisi awal ayah saat ditemukan di lokasi Om. Aku mau tau seberapa parah kondisi Ayah. Aku tau dari polisi kalau itu bukan kasus tabrak lari, itu juga bukan perampokan atau begal. Karena sepeda motor Ayah masih utuh, dan semua barang berharga Ayah juga nggak ada yang hilang. Dompet dan uangnya utuh, HP masih ada di saku celana, isi tas semuanya nggak ada yang hilang. Jadi kenapa Ayah dianiaya Om? Siapa yang tega begitu sama Ayah? Ayah kan orang baik Om. Temannya banyak, sahabatnya dimana mana, siapa yang tega begitu sama Ayah Om?" Gyu memberondong Om Herdi dengan pertanyaan bertubi tubi. Ia mulai terlihat emosional.

"Gyu tenang dulu, semua ini belum bisa kita dapatkan jawabannya sekaligus. Itu sebabnya polisi masih butuh waktu untuk menyelidiki semuanya," jawab Om Herdi terus menenangkan Gyu.

Gyu bukan anak biasa, ia terlalu cerdas untuk dibohongi. Ia tidak akan terima begitu saja kalau diberi informasi standar yang tidak memuaskan ingin tahunya.

"Gimana dengan pertanyaan awalku tadi Om? Gimana kondisi Ayah? Om Arza pasti sudah ceritakan semuanya sama Om. Kenapa sama aku nggak Om? Apa karena aku masih dibawah umur? Om, dua bulan lagi aku tujuh belas tahun! Sudah dewasa! Boleh aku tau semuanya Om?" pinta Gyu masih mencoba bersikap santun meski dengan kekesalan yang makin memuncak.

"Iya, Gyu. Akan Om ceritakan semua. Om percaya kamu bisa memahami dengan baik, kamu sudah dewasa untuk mengerti semuanya. Tapi, kita butuh kedewasaanmu juga untuk tidak bertindak gegabah, Gyu. Kenapa Om Arza dan Pak Polisi tidak memberitahu semuanya padamu? Karena mereka tidak ingin kamu bertindak gegabah, karena kamu masih muda, emosimu belum stabil," jelas Om Herdi.

"Om, aku janji akan tenang dan nggak bertindak gegabah. Aku cuma ingin tau kondisi Ayah Om. Cuma itu. Tolong jelasin semuanya, Om," pinta Gyu lagi. Ia sudah tidak tahan dengan jutaan tanda tanya yang ada di kepalanya. Setiap hari tanda tanya itu menyerangnya, menuntut untuk dijawab. Gyu tak tahan lagi, ia harus mendapatkan semua jawabannya.

"Oke, Om akan ceritakan semua," jawab Om Herdi sambil menghela nafas, sementara Gyu menahan nafas. Kedua sama sama gugup dan gelisah. Tapi akhirnya Om Herdi memutuskan untuk mengajak Gyu ke ruangan dokter Arza dan mereka berdua akan menceritakan semuanya pada Gyu. Menuntaskan satu persatu tanda tanya besar di kepalanya, sambil berharap remaja cerdas ini tidak menjadi gila setelah mendengar kondisi ayahnya.

Semoga saja.

THE INFINITEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin