2

65 7 0
                                    

Jam pulang sekolah tiba, semua murid berhamburan keluar kelas. Soraru berjalan keluar sekolah dengan santai hingga sialnya ia malah ditarik orang tak dikenal ke sebuah jalan sepi.

"Woa? Nih cowok cantik juga... Lumayan buat sekedar pelampiasan ye gak?"

Soraru diam. Ia sebenarnya menunggu kesempatan untuk melawan balik. Hinga sebuah tangan meraih pipinya.

"Yo? Diam saja, manis?"

"Tsk-"

Decakan lidah terdengar dari lelaki bersurai raven itu. Soraru menepis tangan tersebut dan melayangkan tatapan tajamnya.

"Oo-- biasa saja dong tatapan mu~ aku takut nih~ malah mirip kucing mau ngamuk~"

"Sudah kan? Bisa aku pergi?"

"Oh? Belum bisa, manisku. Kau lewati kami dulu~"

Oh? Nantangin nih?

Soraru tersenyum tipis. Lalu melihat sekelilingnya yang ternyata lumayan ramai.

"Lelaki pendek seperti mu apa bisa mela-- ARGH!"

Soraru menendang kebanggaan lawannya dengan tenang. Siapa sangka hal itu akan membuat dirinya di keroyok?

1 lawan 20? Sangat tidak mungkin untuk Soraru mengalahkan semuanya.

"Hoi.. cari lawan yang sepadan dong.."

Sumber suara datang dari belakang kerumunan orang yang ingin menghajar Soraru. Si surai putih itu datang, dengan membawa sebilah pedang pendek.

Aura mencekam seketika. Aura yang membuat para berandalan itu kocar kacir tidak karuan. Iris merah ruby itu menatap Soraru dengan tatapan datar.

"Ngapain kamu kesini? Pulang sana."

"Ini juga mau pulang.."

Soraru melewati Mafu, namun sialnya Mafu menahannya.

"Aku minta maaf karena membanting dirimu di rooftop tadi siang. Sekarang pulanglah.", Soraru terkejut dengan itu. Lelaki yang ia kira sombong dan dingin itu ternyata juga bisa melunak.

"Oh iya, Mafu-kun. Aku harap kau pulang juga." Ujar Soraru dan pergi meninggalkan Mafu yang menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.

"Pulang... Kemana?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Mafumafu pulang ke rumahnya yang besar dan megah. Ia memiliki semuanya. Kekayaan, harta, semua bisa ia dapatkan. Hanya saja, ia tidak tahu cara untuk mendapatkan hal lain.

Kebahagiaan, ketenangan, dan ketentraman. Semua itu tidak bisa didapatkan olehnya.

Baru saja ia membuka pintu rumah, adik perempuannya berlari ke arahnya sambil menangis. Juga suara dua orang dewasa yang tengah beradu argumen menyapa indera pendengaran miliknya.

Rumah? Rumah besar ini terasa seperti neraka untuk Mafumafu.

"Ssshh... Ayo ikutlah ke kamarku..", Mafu menggenggam tangan adiknya dan menarik adiknya kedalam kamar miliknya yang luas. Setelah itu, suara adu mulut semakin keras diikuti dengan suara pukulan yang menyusul.

"Onii-chan... Kowaii..."

Mafumafu mengusap kepala adiknya dengan lembut. Yang ditangkap dari pengelihatan adiknya adalah Mafumafu yang sudah lelah dengan hidup.

"Manun..."

Baru sepatah kata, dan Mafumafu berhenti berbicara. Manun, adik perempuannya mengerti betul kenapa kakaknya bisa sampaikan seperti ini.

Bad? Is that matter? (MafuSora)Onde histórias criam vida. Descubra agora