"Bik Nem, aku ambil alih yah dari sini," kata orang itu tenang. Setenang angin yang membelai lembut wajahnya, hingga gelombang rasa rindu menghantam kencang dan menghancurkan dinding-dinding pengendalian diri Abe.

Dia harus membawa orang itu dalam pelukannya. Merasakan langsung apa-apa yang dijadikannya angan semata selama bertahun-tahun.

Dengan rasa yakin bakal disambut hangat, Abe maju selangkah lagi sambil menggaungkan kalimat yang sama di otaknya; Kian-nya benar-benar pulang.

Belum juga tangannya berhasil merengkuh Kian, sosok lain muncul dari dalam sana. Berlari kecil lalu melewati pintu, sembari berteriak, "Mommy. Mommy. You can't leave me alone with Aunty Nia."

Anak perempuan itu memeluk pinggung Kian, berdiri persis di depan Abe, sedangkan satu tangan Kian memeluk bahu kurus si anak kecil yang kira-kira berumur empat.

Selama beberapa menit yang terasa berjam-jam, Abe hanya fokus memperhatikan sosok anak perempuan di depannya, sampai suara lembut Kian menariknya dari pusaran pikiran yang terus meneriakkan berbagai pertanyaan berinti sama: 'Mommy?' 'Kenapa Kian dipanggil Mommy?' 'Anak siapa ini?'

"Ann, please, come in," kata Kian perlahan sekaligus tegas.

Ketika si anak kecil cemberut, sejumlah ingatan berutar amat cepat di benak Abe bagaikan terbawa angin puting beliun, lalu mengeluarkan ekspresi Kian tengah sebal akan sesuatu. Mirip. Keduanya memiliki kesamaan di beberapa bagian wajah; bentuk hidung, bibir, apalagi saat wajah keduanya saling bertatapan dan dilihat dari samping.

Spontan, Abe memandang Kian yang entah dari kapan mengamatinya. Dia mengabaikan Bik Nem yang berpamitan sopan, mengunci rapat mata Kian, tetapi membuka lebar-lebar telinga pada usaha Bik Nem membujuk anak tersebut untuk masuk menggunakan Bahasa Inggris seadaanya, dan lagi-lagi membahasakan diri Kian; Mommy, Mama.

Abe mengusap pipinya yang mendadak terasa sakit, saat menyadari sebuah cincin dengan deretan berlian dalam satu garis lurus melingkar di jari manis Kian. Satu per satu ungkapan bahagia di dada Abe luruh bergantikan kekecewaan. Bukan kepada Kian, tetapi dirinya.

Abe mencoba menyingkirkan rasa kecewa dan getir ke belakang, menahan apa pun pikiran menyakitkan tetap di sana, dengan mengandaikan; siapa tahu dia salah tangkap. Menjadi ibu tidak berarti harus melahirkan sang anak. Menggunakan cincin tidak selamanya mengartikan ikatan serius.

Kian mencintainya.

"Abe," sapa Kian setelah memastikan si anak dan Bik Nem tidak lagi berada di sekitar foyer.

"Hai. Kiandra," balas Abe.

Dengan berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi, Abe melanjutkan niatnya memeluk Kian, tetapi perempuan itu mundur satu langkah. Terang-terangan memintanya menjaga jarak, jangan ada kontak fisik. Seperti yang selalu Abe lakukan saat memiliki pasangan.

"Ki ..." Bahkan, di telinganya sendiri, Abe merasa suaranya amat menyedihkan.

"Aku minta tolong sama Bik Nem, kapan pun kamu datang, tolong ditahan di luar aja sampai aku yang keluar sendiri." Kian terdiam sejenak, tetapi terlihat tidak mengharapkan tanggapan Abe. Jadi, dia diam, sampai Kian melanjutkan, "Aku ngerasa aneh lihat kamu masuk rumah, padahal ada suami dan anak aku."

Abe tahu kata suami dan anak akhirnya akan dilempar Kian, tetapi dia tidak berharap secepat ini. Setidaknya, Kian bisa memberi waktu bagi mereka berbasa-basi demi rindu.

Demi kenangan menyenangkan di antara mereka, sebelum dia mengusir Kian demi satu perempuan pembohong.

"So, hampir enam tahun kamu ilang ditelan bumi, terus balik bawa anak dan suami." Abe memiringkan posisi berdirinya, gagal menahan tawa getir lolos dari bibir. "Seriously?" Sembari mengusap sudut matanya dengan telunjuk, dia bertanya, "Sorry, ini—gini, Kian. Itu beneran anak—ya ampun, dulu kamu bilang nggak mau—"

"Anna. Namanya Anna. Dia benar-benar anak aku, dari rahim aku."

"Ki—"

"Kenapa?" sela Kian. "Kamu mau nanya itu 'kan?" Sambil bersedekap, Kian maju dan menyisakan jarak kosong satu langkah di antara mereka. "Setop, ikut campur kehidupan gue, Ki. Komentar ini-itu. Kita bukan lagi anak kecil yang susah bergaul karena latar belakang keluarga, apa-apa barengan. Satu nggak setuju, yang satu lagi ikut kayak buntut."

Kepala Abe berdengung keras, bagaikan dipukul kayu. Tidak pernah terbayangkan pada pertemuan pertama setelah dikurung penyesalan bertahun-tahun, bukannya mendapatkan pembebasan, dirinya malah dapat hukum tambahan.

"Kita udah cukup berumur buat punya kehidupan masing-masing, jalan masing-masing. Pilih apa pun yang lo mau, gue juga gitu." Senyum yang redup saat mengucapkan kalimat Abe di pertemuan terakhir mereka dulu, muncul lagi di wajah perempuan itu. "Masa kamu lupa sama omongan sendiri?" Kian mundur satu langkah lagi. "So, ini jalan yang aku pilih. Menikah, punya anak, dan ngelupain kamu ...."

Kesedihan melanda Abe hingga membuatnya mengigil, meski panas terik menepuk-nepuk punggungnya.

"Gimana, kalau aku nggak bisa ngelupain kamu?" tanya Abe.

"Perasaan kamu bukan tanggung jawab aku," sahut Kian tegas, menarik Abe pada hari di mana Kian bertanya; 'Gimana kalau alasan aku cari-cari kesalahan cewek-cewek kamu itu, karena aku nggak pernah lihat kamu sebagai sahabat? Aku cinta kamu, Abe.' Dan Abe, memberikan jawab yang sama; 'Urusan perasaan lo, bukan tanggung jawab gue.'


Foyer : sebuah ruang atau area yang menjadi perantara antara pintu masuk dan bagian dalam rumah seperti ruang tamu, atau teras dengan ruang keluarga. Biasanya, area perantara terdapat di rumah-rumah yang berukuran luas.

*
*

Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca, semoga berkenan di hati kalian.

Untuk informasi naskah-naskah aku yang lain, kalian bisa follow :

Instagram : Flaradeviana (Pribadi)

Love, Fla.

Someone To Love (ver revisi Possessive Pilot)Место, где живут истории. Откройте их для себя