29. Di Penghujung Hari

162 25 22
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya 💚

Biar aku makin semangat 💚

Erina memainkan kuku telunjuknya sepanjang menanti Mirza di coffee shop yang pemuda itu jadikan tempat berjumpa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Erina memainkan kuku telunjuknya sepanjang menanti Mirza di coffee shop yang pemuda itu jadikan tempat berjumpa. Sudah ada dua pesanan di atas meja, chocolate milkshake milik Erina dan ice americano untuk Mirza yang diminta olehnya melalui pesan karena dia datang sedikit terlambat.

Well, keterlambatan Mirza menjadi keuntungan sendiri karena sejujurnya Erina belum siap untuk bertemuㅡlebih tepatnya takut jika Mirza masih dalam keadaan marah yang membuat pertemuan hari ini jadi kacau. Jika mengingat melalui pesan singkat yang beberapa kali dikirim Mirza sebelum pertemuan, pemuda itu tampaknya sudah lebih baik. Kendati begitu Erina harus tetap waspada dengan kemungkinan terburuk, tetapi tetap belum siap untuk menerima hal buruk dalam hubungan mereka.

Selang lima belas menit menunggu, akhirnya yang dinanti pun tiba. Kedatangan Mirza amat mengejutkan karena tiba-tiba duduk di hadapan Erina, lalu menyeruput ice americano untuk meredakan lelah selama dalam perjalanan. Erina menganga kecil akibat takjub dan bertanya-tanya di benak, bagaimana bisa visual Mirza bertambah tampan berkali-kali lipat setelah cukup lama tidak bersua?

Rambut Mirza sedikit panjang karena tidak dipangkas, pelipisnya mengeluarkan peluh yang segera diseka menggunakan tisu, dan bibirnya ... oh, Tuhan. Sadarkan Erina agar tidak tiba-tiba jadi agresif untuk mencium birai yang menggoda itu.

Saat Mirza menatapnya dan meletakkan gelas ice americano di atas meja, Erina jadi salah tingkah dan matanya berkeliaran tidak pasti menatap meja kayu cokelat. Mirza tersenyum samar, gemas sekali melihat Erina yang tampak bingung harus berbuat apa.

"Aku juga kangen, kok. Relaks aja."

Pengakuan tidak terduga itu membuat Erina tercengang sejenak, baru akhirnya mau menatap lekat sang lawan yang tersenyum manis mengalahkan chocolate milkshake pesanan Erina. Kalau begini jadinya, Erina bisa-bisa kena diabetes akibat ulah Mirza.

Menyingkirkan sejenak pikiran hiperbolanya itu, Erina akhirnya bisa bernapas lega melihat gelagat Mirza yang tampak relaks seperti ucapannya. Pemuda itu terlihat segar seperti tanpa beban, berbanding terbalik dengan Erina yang pikirannya simpang siur antara harus mengikuti bagian baik atau buruk.

Erina jadi grogi, tak mampu menghimpun aksara untuk disampaikan demi mencairkan keadaan yang begitu dingin. To the point? Basa-basi? Dua itu dirasa bukan pilihan yang tepat untuk jadi aksi pertama, tetapi diam terlalu lama pun bukan tindakan yang benar.

"Hari ini kita mau ngapain aja?"

Pertanyaan sekonyong-konyong itu membuat pupil Erina membesar penuh syukur karena Mirza yang peka mau bicara lebih dulu.

"Aku nggak tahu," jawab Erina jujur. "Kalau aku yang penting ketemu dulu, lain-lainnya malah nggak kepikiran."

Mirza manggut-manggut sembari menopang dagunya. "Gimana kalau jalan-jalan naik KRL? Keliling rute gitu." Jeda sejenak karena Mirza menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, lalu melanjutkan, "Masih bisa berangkat dari Jakarta Kota sampai Bogor, terus balik lagi naik arah Jatinegara, nanti turun Kampung Bandan biar transit ke Jakarta Kota lagi. Gimana?"

My First and Last Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang