Keputusan Terberat

32 4 0
                                    

Seperti biasa aktifitas Indira dipagi hari layaknya seorang istri. Indira biasa bangun jam empat pagi untuk mencuci piring, mencuci pakaian, memasak untuk sarapan, sampai membersihkan rumah ia lakukan sebelum bersiap berangkat ke kantor—tempat ia bekarja sebagai sekretaris.

Di dalam kamar yang tidak terlalu besar, Indira mulai berias. Indira menghadap cermin besar yang menggantung di dinding kamarnya dan mulai mengoleskan fondations di pelipis mata kanannya bekas hantaman kepalan tangan suaminya. Ia berusaha menutupi luka lebam di mata indahnya.

Suara teriakan dari ruang makan terus memanggil nama Indira.

"Istriku!"

"Iya mas sebentar!" Sahut Indira dari dalam kamar.

Teriakan itu terdengar semakin kencang dan penuh kekesalan
"Berapa lama lagi suamimu ini harus menunggu?!"
"Indira!!!"

"Iya mas." Sahut Indira yang muncul dari kamar menuju ke ruang makan sambil berlari mendekati Hans.

"Kamu mau aku mati kelaparan?!" Bentak Hans melototi Indira.

Indira tertunduk dan langsung menyiapkan nasi goreng buatannya yang sudah ada di meja.

"Ini mas."
Dilanjut duduk berhadapan dengan Hans.

Hans yang melihat luka lebam di pelipis mata kanan Indira langsung memegang dagu Indira dan melihatnya dengan seksama.

"Kenapa tidak kamu tutupi lukanya? Kamu sengaja biar orang-orang tau kalau aku mukul kamu?" Sambil melepaskan tangannya yang memegang dagu Indira.

"Bukan begitu mas, sudah aku oleskan fondations tapi masih saja nampak."

"Pintar kamu menjawab. Aku tidak mau tau lebam itu harus kamu tutupi bagaimanapun caranya."

Indira mengangguk dan hanya terdiam menunduk sembari menyantap nasi goreng buatannya sendiri.

***

Di lobi sebuah perusahaan besar, Indira berjalan menunduk dan sesekali melihat arah menuju ruangannya—menggunakan kacamata hitam bulat yang menutupi lebam di pelipis matanya. Semua orang yang lalu lalang tampak biasa saja melihat kedatangan Indira yang datang menggunakan kacamata hitam itu. Rekan-rekan kerjanya menjadi terbiasa melihat Indira memakai kacamata hitam bulat, mereka melihat tidak ada hal aneh dari Indira.

Wanita cantik itu kini sudah berada di meja kerjanya. Belum lagi ia melepas kacamata hitamnya, Indira dikejutkan dengan amplop persegi panjang berwarna putih sudah ada di atas meja kerjanya. Ia membuka kacamatanya dan menaruhnya di atas meja kerjanya. Matanya menyipit melihat amplop yang ia keluarkan isinya. Keningnya mulai ia kerutkan setelah membaca tulisan dalam kertas putih itu yang menyatakan kesediaannya untuk dimutasi di kantor cabang di Bandung.

Indira memegang keningnya. "Oh tidak! Aku lupa akan hal ini. Keputusannya hari ini." Indira menghela nafas kasarnya dan menatap kertas itu. "Bagaimana ini?" Indira mengusap wajahnya.

Tidak lama kemudian rekan sekaligus teman baik Indira—Natasha, atau biasa disapa Shasa ini mendekati Indira yang duduk di depan meja kerjanya masih membaca kertas itu.
"Hai Ra!"

Indira tidak menoleh ke arah sumber suara yang menyapanya. Ia hapal betul suara wanita yang menyapanya. Ia berusaha menutupi luka lebamnya dengan berpura-pura membaca kertas yang menutupi wajahnya. Shasa tidak begitu saja percaya apa yang dilakukan temannya itu. Shasa menurunkan kertas yang menutupi wajah Dira, panggilan akrab Indira.
"Lebam lagi, Ra?"

Dira terdiam dan tertunduk. Shasa mendekati wajah Dira. "Ceraikan Hans, Ra! Mau sampai kapan kamu hidup seperti ini?!"

Dira tak menjawab satu kata pun pertanyaan yang dilontarkan Shasa. Butiran air matanya jatuh membasahi pipinya yang merona. Shasa yang melihat temannya menangis segera mendekatinya dari arah samping dan memberikan pelukan hangat sebagai teman untuk menguatkan Dira.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Boss My Second HusbandWhere stories live. Discover now