Handsome Spirit (Chapter 8/END)

149 24 0
                                    

     Aku bersandar pada kursi kantorku. Kulihat ke arah jendela, salju tengah turun di luar sana. Semalaman begadang karena disibukkan dengan deadline, aku sampai tak menyadari bahwa salju pertama telah turun. Cukup indah. Butirannya melayang di udara lalu menumpuk di atas jalanan perkotaan yang sudah sepi. Ya, waktu sudah menunjukkan dini hari, dimana langit kelam masih enggan menunjukkan sinarnya. Beruntung sekali karena aku masih terjaga, dengan begitu tontonan indah ini masih dapat kulihat.

     Gerak mataku terpaku pada satu titik. Aku tak benar-benar melihat itu, karena nyatanya itu hanyalah sebuah ranting pohon yang sedang berjuang menghadapi musim dingin. Tapi tak tahu mengapa, pikiranku langsung melayang. Aku masih saja memikirkannya. Tidak, mungkin jika aku lebih jujur, sebenarnya aku mulai merindukannya.

     2 tahun sudah berlalu. Selama itu juga aku tak pernah pulang ke desa. Aku disibukkan dengan pekerjaan baruku. Meski tak sesibuk itu, tapi aku memang tak punya cukup waktu untuk ke sana. Bahkan ketika kepergian nenekku setahun yang lalu, aku pun tak bisa melihat pemakamannya.

     Mataku langsung terasa panas ketika mengingat itu. Tapi, setidaknya 2 hari lagi aku akan segera pulang. Ya, beberapa hari ini aku sudah merelakan waktu tidurku hanya untuk menyelesaikan pekerjaanku agar aku bisa mengambil cuti yang lebih lama. Aku sangat senang, karena tampaknya kali ini aku benar-benar bisa pulang ke desa dan bisa melihat kakek yang sudah sangat aku rindukan.

     Punggungku terasa amat kaku. Juga terasa nyeri hingga ke pundakku. Leherku terasa tak nyaman dan kepalaku pun mulai terasa sakit. Meski begitu, aku tak mungkin beristirahat lebih lama lagi. Sudah 30 menit kulewati begitu saja dan waktu yang sudah kulewati itu terlalu berharga. aku harus melawan rasa sakit akibat kelelahan ini.

     Aku ambil sebungkus roti dari dalam plastik kresek yang ada di sudut meja kerjaku. Ya, tadinya di tengah malam aku sempatkan untuk membeli beberapa cemilan, tentu aku tak lupa untuk membeli roti. Aku harus memastikan lambungku baik-baik saja dengan begitu kerjaku pun tak akan terganggu. Mengenai rasa nyeri yang kurasakan, aku bisa meredakannya dengan mengonsumsi obat penghilang nyeri.

     Jarum jam terus berputar, dan aku tetap di meja kerjaku. Aku terus seperti itu hingga 2 hari setelahnya dimana akhirnya aku bisa bernafas dengan lega.

     Aku amati tas ransel dan koper yang ada di hadapanku. Lama mengamati itu, senyumku pun mengembang. Apalagi ketika bis yang akan aku tumpangi telah tiba di terminal. Penuh semangat aku kancing erat jaket musim dinginku lalu segera bergegas untuk memulai perjalanan itu.

     Niat awalnya sih ingin menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan menuju desa. Tapi nyatanya, baru saja duduk di dalam bis, aku langsung tertidur. Mungkin karena selama ini aku begadang dan hanya tidur beberapa jam saja.

     Aku terbangun dari tidurku ketika sopir bis membangunkanku. Ketika kulihat apa yang tampak dari balik jendela bis, senyumku kembali timbul. Tentu aku masih sangat mengingatnya. Rumah kakek tak jauh dari sini. Aku segera turun dari bis beserta dengan koper dan ransel yang sudah aku pakai.

     Aku menyebrangi jalan--karena lokasi desa ada di seberang jalan. Usai itu aku melangkah di sebuah jalan kecil yang hanya bisa dilewati 1 mobil saja.

     Saat ini sudah pukul 4 sore. Tak heran jika hembusan angin terasa semakin menusuk.

     Aspal yang sedang kuinjak pun sudah tertutupi salju. Tak terlalu tebal, tapi salju sukses menutupi seluruh permukaannya. Pepohonan yang mengiringi langkahku juga tampak rapuh. Daunnya tak lagi menyatu pada ranting, tapi sebenarnya mereka tak selemah itu. Nyatanya mereka masih bisa bertahan.

      Sekitar 10 menit berjalan kaki, akhirnya aku bisa melihat halaman depan rumah kakek. Langkahku semakin cepat hingga meninggalkan jejak acak di atas salju.

Handsome Spirit (COMPLETE)Where stories live. Discover now