APOCALYPSE

43 10 5
                                    

[ cerita ini murni fiksi, tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah atau kejadian yang disebutkan. ]

• • •

BEOMGYU seringkali mendapati dirinya berangan-angan mengenai kebebasan.

Dalam kehidupan yang serba singkat, ia mencoba untuk memaksimalkan potensinya—setidaknya demikian ia berpikir. Dalam hal-hal berkenaan pendidikan, kasta, ilmu perdagangan, ilmu pertahanan diri, Beomgyu nyaris menguasai semua itu. Kini ia menjadi terjebak dalam pemikiran; sekarang, apa? Saat itu ia mulai menyadari bahwa satu-satunya hal yang sulit ia dapatkan adalah kebebasan.

Kebebasan adalah definisi yang luas bagi Beomgyu sendiri. Ia ingin dengan bebas memilih pasangannya, berkelana ke manapun ia mau, mencari tempat untuk sejenak terlepas dari hiruk-pikuk suasana kerajaan—sejenak yang amat berarti. Beranjak remaja, ia menjadi semakin muak. Beomgyu telah dibentuk sempurna, sebagaimana boneka. Dan ia membenci dirinya sendiri yang bertingkah-laku sesuai dengan aturan kerajaan; di hadapan semua orang, siapa saja, ia telah banyak menipu—barangkali bahkan dirinya sendiri.

Suatu hari, di usianya yang menginjak enam belas tahun, ia diajak Yeonjun berkuda ke dalam hutan dan diajarkan memanah mangsa dengan benar. Awalnya ia enggan, tetapi kemudian ia menyadari bahwa kegiatan memanah semacam ini bisa dijadikan pelarian dari tanggung-jawabnya sebagai calon raja. Sedikitnya, Beomgyu merasa longgar. Sampai satu malam, tatkala Raja Agung Uther melampiaskan kemarahannya pada seorang prajurit yang malang, perasaan muak Beomgyu akhirnya meledak. Ia sudah khatam soal penjelasan mendalam mengenai kasta, tetapi ia tetap tidak memahami kenapa kehidupan seseorang menjadi tidak ada artinya dibandingkan seseorang yang lain.

Beomgyu pergi berkuda seorang diri, menerobos dinginnya malam bersalju—tanpa baju zirah, tanpa membawa senjata, tanpa apa-apa, menuju hutan tempat ia terbiasa belajar memanah. Keadaan gelap serta jalanan yang licin akibat salju membuat kudanya terpeleset dan ia nyaris jatuh ke dasar jurang. Beomgyu, dengan segenap tekad, meraih ranting pohon lantas merayap mencoba menggapai tanah landai. Di dalam kepalanya, andai Yeonjun menyaksikan kesulitannya sekarang ini, sudah pasti kaki tangan ayahnya itu lebih memilih untuk membiarkan Beomgyu mati.

“Apa maksud Anda tidak menerima takdir Anda sebagai calon raja—sebagaimana takdir saya sebagai seorang (yang hanya) Ksatria?”

Di dalam bola mata Yeonjun, Beomgyu dapat melihat api yang membara.

Daripada kekuasaan, harta, ketaatan kepada Tuhan, penghargaan-penghargaan … beri saya kebenaran, beri saya kebebasan. Beri saya kehidupan di mana semua manusia bebas menentukan takdirnya.

Tetapi kata-kata itu kembali tertelan. Beomgyu dibungkam kenyataan bahwa ia menyesal tidak mengeluarkan kata-kata itu, sebab barangkali ia bakal mati malam ini. Seperti seorang prajurit malang …

“Jangan berpikir kamu akan mati, Tuan.”

Seorang perempuan muncul tiba-tiba di hadapannya seraya mengulurkan tangan, memberi bantuan. Perempuan itu teramat mistiknya sebab rambutnya berwarna merah, dengan eksistensi yang diliputi berbagai pertanyaan; bagaimana bisa seorang perempuan muda, bertelanjang kaki, berada di tengah-tengah hutan yang sudah jelas tidak ada penghuninya selain hewan-hewan? Bisa jadi perempuan itu juga mempertanyakan eksistensi Beomgyu.

Beomgyu berhasil mencapai tanah landai, mengucap syukur lantas duduk berselonjor kaki seraya menarik napas dalam-dalam. Rasa-rasanya beberapa detik lalu kematian terasa dekat dengannya. Seketika ia berpikir bahwa hidup sebagai manusia benar-benar dapat dengan mudah dilenyapkan.

“Manusia itu kenapa sangat lemah dan berumur pendek, ya.”

Gumaman perempuan tersebut membuat Beomgyu sempat berpikir bahwa sosok aneh ini bisa membaca pikirannya.

apocalypse, beomgyu ✓Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu