Bab 2

0 0 0
                                    

Mia dan Anin menoleh bersamaan ke arah suara yang mengagetkan mereka. Mia langsung berdiri dan merangkul anak kecil berpipi gembul itu.

"Ma, siapa kakak itu?" tanya anak laki-laki itu terus menatap Anin.

"Kakak Anin namanya. Dia tinggal di sini bersama Leo dan mama," jawab Mia sembari meletakkan sepatu pada tempatnya dan menggendong anak keduanya itu.

"Ganteng banget Leo. Anin baru tau kalau bude punya anak lagi. Kirain Mbak Medy anak tunggal seperti aku."

"Kebobolan, Nin."

Mereka tertawa, kecuali Leo yang tampak tak acuh dengan kehadiran Anin. Bukan tidak senang, tetapi Leo belum terbiasa berkenalan dengan orang asing.

Mia bercerita tentang kehamilan anak keduanya, Leo. Saat Medy sekolah SMP kelas dua, kabar bahagia itu datang. Terlebih Medy yang mendengar bahwa dia akan mempunyai adik, dia sebar luaskan berita bahagia itu pada teman-temannya.

"Dulu, Medy tidak mau dijauhkan dengan Leo. Tapi, karena Leo saat itu masih bayi dan sering berinteraksi dengan bude, otomatis Medy malah ngambek. Katanya dia dikucilkan." Mia terkekeh geli mengingat momen tersebut.

"Jadi, bude malah makin repot, dong. Merawat Leo yang masih bayi dan Mbak Medy juga."

"Dibilang repot, iya, tapi dinikmati aja, Nin. Lama-kelamaan Medy juga mengerti. Mungkin terlalu lama sendiri dan tiba-tiba ada Leo jadi seperti diduakan. Mungkin itu."

Mia dan Anin asyik berbincang tanpa memedulikan anak kecil berusia lima tahun yang ada di sampingnya dengan muka cemberut.

"Maa! Leo lapar!" teriak Leo dengan lantang.

Mia dan Anin berjengkit bersamaan. Mia sampai memegang dadanya, kaget. "Ya Allah, Leo. Nggak usah bentak begitu. Mama dan Kakak Anin kaget jadinya. Nggak baik, ya, Sayang."

Mia langsung menggendong Leo ke meja makan. Seragam sekolah TK dan tasnya sudah ditanggalkan begitu saja. Kata Leo badannya gerah.

Sedangkan, Anin melihat beberapa baju yang diberikan Mia tadi. "Masih bagus rupanya. Lumayan, dipakai untuk kerja besok. Yaah ... moga saja langsung dapat."

Anin menghela napas. Hidupnya begini mungkin sudah takdirnya. Anin tidak tahu pasti. Ingatan di mana dulu keluarganya yang bahagia tanpa ada pertengkaran sengit yang melibatkan dirinya.

Ayahnya yang bernama Imran bekerja di pabrik batako dengan penghasilan yang bisa mencukupi keperluan sehari-hari. Ibunya bernama Feni, hanya sebagai ibu rumah tangga. Kadang Feni mau menjadi buruh menyetrika pakaian di salah satu tetangga yang menjadi PNS.

Entah sejak kapan pertengkaran itu mulai sering terjadi. Tidak ada kata manja yang dilontarkan Imran selain bentakan dan bantingan barang apa pun yang ada di dekatnya. Entah itu bingkai foto di nakas atau remot televisi. Sedangkan, Feni selalu memukul atau memarahi Anin. Kejadian itu saat dia mau lulus sekolah menengah atas.
Seingatnya, ayahnya setiap hari di rumah setelah tidak bekerja lagi. Mungkin itu masalahnya, sehingga Feni terus bertanya tentang uang dan uang. Ekonomi di rumah semakin buruk. Dan, lebih buruk lagi saat Anin mendengar perceraian kedua orang tuanya.
Jadilah Anin di sini, karena keterpaksaan. Dia enggan mengetahui kabar dari ayahnya dan ibunya sekarang. Anin tersenyum sekilas. Lalu, butiran air matanya pun jatuh tanpa permisi.

"Mereka pasti senang kalo aku pergi. Cinta yang dulu mereka berikan sepertinya palsu semua. Banyak yang bertahan meskipun tanpa mempunyai uang banyak, tetapi orang tuaku memilih uang ketimbang cinta untuk anaknya."

Anin segera mengusap air matanya yang hampir luruh di kelopak mata setelah mendengar langkah Mia mendekat.

"Kamu suka bajunya?" tanya Mia dengan memegang remot televisi LED ukuran 21 inci yang terpasang di tembok.

"Bagus semua, Bude. Aku suka. Makasih, ya, Bude."

"Iya, sama-sama. Kayak sama siapa aja."

Televisi di depannya mengalihkan pikiran mereka sejenak. Tontonan kartun sekarang sangat jarang ditemui, selain anak kembar dengan kepala botaknya yang disukai Leo.

"Kamu cari kerja besok pagi aja. Sekarang istirahat dulu. Pasti capek, 'kan," ucap Mia.

"Iya, Bude. Pegal semua, karena kelamaan duduk di bus tadi," ujar Anin dengan meringis.

"Ya, udah, tidur aja dulu. Habis itu mandi, ya. Jangan lupa salat."

"Baik, Bude. Anin tidur dulu. Leo ganteng, serius amat."

Leo malah bergeser ke tempat sebelahnya sejengkal, karena tidak mau diganggu. Anin tertawa lirih dengan reaksi anak gembul itu. Lalu, dia segera berdiri menuju kamarnya dengan mendekap setumpuk baju dari Mia.

***

Lumayan terik pagi ini, padahal masih jam delapan. Anin mengernyit, saat wajahnya terkena panasnya mentari.

Dia sedang berjalan ke toko ujung ke ujung lainnya. Tidak ada yang menerima pekerja saat ini. Lalu, Anin kembali menyusuri toko-toko besar maupun kafe di jalan yang lain.

"Ternyata susah cari pekerjaan, ya. Aku juga belum hafal jalanan ini. Semoga aku nggak nyasar."

Kembali dirinya masuk ke butik muslimah. Anin kecewa tidak diterima karena butik tersebut tidak membutuhkan karyawan. Seperti alasan yang lain menolak Anin sebelumnya.

Tak patah semangat, gadis berambut lurus itu memasuki kafe yang lumayan ramai. Tangannya mendorong pintu kaca dan badannya langsung terpaku dengan suasana di dalam kafe.

"Kayak antri sembako. Rame banget," ucapnya pelan.

Dia merapikan rambut dan baju yang dipakainya. Kaus berlengan pendek yang berwarna ungu tampak pas di tubuhnya. Lalu, dia tersenyum menampilkan wajah ayunya yang semakin memancar.

Kakinya melangkah pelan dan sedikit bersenggolan dengan pembeli yang lain. Anin sempat heran, apa yang menjadi favorit di sini sampai pengunjung yang datang banyak sekali?

Anin ikutan antri, karena bingung dengan suasana kafe yang ramai. Saat gilirannya tiba, dia bertanya lebih dulu sebelum kasir berucap.

"Kak, apa ada lowongan? Aku mau melamar kerja di sini."

Perempuan beralis tebal itu meneliti Anin dari atas sampai bawah. "Bentar."

Tak berapa lama ada seorang wanita yang sangat cantik dengan make up naturalnya.

"Ini, Kak, ada yang melamar kerja di sini."

"Lama amat, sih." Terdengar gerutuan dari dari salah satu pengunjung.

"Suruh kerja sekarang aja. Biar pengunjung cepet dapet pesanannya," kata wanita itu yang ternyata pemilik dari kafe ini.

Aku bergegas ke luar dari antrian dan masuk ke ruangan yang ditunjuk pemilik kafe tersebut.

"Ini seragammu. Kerja yang giat, rajin, nggak boleh malas. Oh, iya, kenalin aku pemilik kafe ini. Namaku Della." Wanita itu tersenyum dengan menampakkan giginya yang berderet rapi.

"Anindita. Panggil aja Anin." Sembari membalas jabat tangan Della.

"Oke. Silakan bekerja. Lainnya, nanti aku bicarakan."

"Baik, Kak." Anin langsung ke kamar mandi untuk mengganti seragam dan memakai apronnya. Setelah dari kamar mandi, dia ke luar dan langsung bekerja seperti instruksi Della.

"Kak Della, gawat ini!"

"Ada apa, Rif?"

Bersambung

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love, Where are You?Where stories live. Discover now