Bab 2. Status Alvin

116 19 0
                                    

Lesung pipi di sebelah kanan itu tercetak, saat sebuah senyum lega tampak di wajah cantik yang baru beberapa bulan lalu menginjak usia 25 tahun itu. Ada beban yang seolah terangkat dari pundaknya. Setelah segala kerumitan yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya terpecahkan.

Marlina : Din, saya tunggu di depan.

Adinda Larisa, wanita dengan rambut lurus sepunggung itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia bersiap untuk membayar konsekuensi dari segala yang sudah ia dapat. Wanita dengan tubuh mungil itu tidak tahu jalan apa yang akan ia hadapi di depan sana nanti. Namun, yang pasti satu masalah sudah terselesaikan, dan ia akan menjalankan garis takdir yang sudah Tuhan tulis untuk jalan hidupnya.

"Al, aku pergi dulu," ujarnya kepada laki-laki yang kini terbaring dengan berbagai alat terpasang di tubuhnya.

"Mungkin setelah ini aku bakalan jarang nemenin kamu. Tapi aku janji bakal usahain untuk datang setiap hari." Bibir tanpa pulasan lipstick itu tersenyum, meski lawan bicaranya tidak pernah memberi tanggapan. Mata itu masih tertutup rapat seperti biasa.

"Kamu baik-baik, ya." Setelah mengatakan itu, Adinda segera bangkit. Merapikan rambut keunguan yang catnya mulai memudar, lalu pergi sebelum wanita baik yang menunggunya di luar sana kembali mengirimkan pesan.

*

"Dulu dia nggak seperti itu," ujar Marlina dengan sorot sedih yang teramat kentara. "Dia selalu tersenyum ramah pada semua orang," lanjutnya sembari menoleh ke arah samping.

Adinda yang sejak tadi fokus pada laki-laki jangkung di depan sana sontak menoleh. Memberikan senyum lembut sebagai penguat bagi ibu dari laki-laki yang sejak tadi ia perhatikan.

"Sekarang sikapnya dingin sekali. Hanya bisa ramah saat sedang berhadapan dengan klien saja." Marlina menghela napas, membetulkan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Tanpa harus melihat langsung pun, Adinda tahu kini mata itu berkaca-kaca.

"Beberapa kandidat yang selama ini Tante sodorkan, selalu saja gagal," ujar Marlina kembali. Adinda hanya diam mendengarkan, sembari menyimpan semua informasi penting di dalam kepalanya.

"Selama ini, wanita-wanita itu silau pada jumlah uang yang Alvin tawarkan. Atau, mereka tidak akan tahan dengan sikap dingin Alvin yang sudah mengarah ke kasar."

Kali ini Adinda yang menghela napasnya, ada setitik rasa takut yang mulai menyusup. Namun, saat tangan Marlina menggenggamnya, seolah tahu keresahan yang ada di hatinya kini, wanita itu berusaha untuk menunjukkan senyum penuh keyakinan.

"Kamu, akan bertahan kan, Dinda?" Marlina menurunkan kaca mata hitamnya, dan tampaklah sorot putus asa seorang ibu yang tengah mencari secerca kebahagiaan untuk anak laki-lakinya.

Adinda mengembus napas lirih, lalu membalas remasan tangan Marlina dengan senyum tenang yang akan membuat siapa pun menyukainya.

"Dinda akan berusaha Tante. Dinda sudah punya gambaran, dan Dinda harap Dinda akan tahan banting nanti." Wanita itu tersenyum lebar, berusaha memberi keyakinan bahwa dirinya tidak akan menyerah begitu saja.

Nyatanya, ia memang tidak akan bisa menyerah karena sudah ada surat kontrak yang mengikatnya. Bahkan ada denda dengan nilai fantastis jika ia memutuskan untuk mundur di tengah jalan. Denda itu adalah usulan dari Marlina yang Adinda setujui tanpa rasa keberatan sama sekali. Adinda bahkan tidak berpikir jika Marlina sesungguhnya sengaja menambahkan pasal denda itu untuk mengikatnya agar benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mundur.

"Tante benar-benar berharap penuh sama kamu, Dinda. Uang yang Tante berikan itu tidak ada artinya buat Tante. Jika kamu bisa membantu Alvin untuk kembali seperti dulu lagi, Tante bisa memberikan yang lebih besar dari itu."

Bukan Kisah Sempurna (TAMAT - Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang