Part 12

17 1 0
                                    

Rasyid membenci dirinya sendiri karena tidak bisa tegas dan selalu terjebak di situasi yang salah. Dia menyalahkan orang tua yang mendidiknya seperti kedua kakak perempuannya. Ia tak pernah diberi kebebasan mengambil keputusan sendiri. Berbeda dengan teman-temannya yang memiliki orang tua baik. Mereka tak pernah dibentak atau dipukul. Rasyid memang tak pernah dipukul, tetapi kekerasan verbal sering ia dapatkan. Ia selalu dibandingkan dengan Mbak Ratih atau Mbak Rima tentang nilai sekolah, dikatai malas, bodoh, bahkan membangkang.

Waktu sekolah, ia bahkan tak boleh memilih jurusan IPS. Ayahnya malu, karena bagi beliau hanya orang bodoh dan malas yang masuk IPS, sedangkan semua murid pandai pasti masuk jurusan IPA.

Rasyid tersedu-sedu saat tahu pilihannya tidak direstui orang tuanya. Ayahnya bahkan menghubungi wali kelas agar dia dipindahkan di kelas IPA.

"Kamu lihat itu Mbak Ratih dan Mbak Rima. Semua masuk IPA. Jangan membuat malu Ayah dengan masuk IPS."

Bagi ayahnya, kelas seseorang bisa dinilai dari kualitas anak.  Rekan-rekannya selalu membanggakan anak mereka. Ayah yang kala itu menjabat sebagai kepala dinas tak mau kalah begitu saja. Ia juga selalu memuji Mbak Ratih dan Mbak Rima, tetapi tak pernah memuji dirinya. Itu sebabnya pemuda itu akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri.

Orang tuanya tak pernah memikirkan perasaannya. Ia stres, depresi, bahkan ingin bunuh diri. Mereka hanya memikirkan diri sendiri. Ia tak pernah diberi kesempatan untuk bermain bersama teman-temannya. Di rumah, ia diperlakukan seperti anak perempuan. Disuruh mengepel, menyapu, mencuci piring bahkan menyeterika bukan hanya bajunya sendiri tetapi juga milik kedua kakaknya.

Mbak Rima dan Mbak Ratih menganggap kalau Rasyid anak kesayangan, tetapi tidak begitu baginya, ayah ibunya pilih kasih dan selalu memperlakukannya dengan semena-mena. Pernah suatu hari ia diundang ke acara ulang tahun salah satu temannya. Mereka bertetangga. Rasyid yang saat itu sudah memakai baju rapi dilarang pergi oleh ayahnya. Ayah juga tak pernah memberi alasan mengapa Rasyid harus selalu di rumah.

Itu sebabnya pemuda itu memutuskan kuliah di luar kota dan mengambil jurusan matematika. Sejak SMA, matematika selalu berhasil membuat pikirannya teralih dari intimidasi kedua orang tuanya. Ia menenggelamkan diri dalam deretan angka-angka yang selalu menunggu untuk dipecahkann. Rasyid tampak menonjol di kelas. Itu sebabnya semua teman mendekat. Kepercayaan diri pemuda itu lantas muncul, tetapi akan kembali menjadi pemuda penakut jika berada di rumah.

Ia selalu menahan marah, dipaksa mengalah dan memaklumi penindasan dari orang tua dan kedua kakaknya.

Suatu hari ia pernah diajak makan siang di rumah salah satu temannya. Mereka sangat hangat. Temannya sangat baik dan ringan tangan, tidak seperti dirinya yang dididik harus memprioritaskan keluarga tetapi mengesampingkan kepentingan orang lain.

Bagi orang tuanya, nasib seseorang ditentukan oleh diri sendiri. Jika ada orang miskin, itu karena mereka malas dan tidak mau bekerja keras. Belakangan ia menyadari bahwa perilakunya tak lepas dari andil orang tuanya. Ia menjadi pelit dan tak peka karena ayah ibunya. Menurutnya, tidak ada anak yang buruk. Bagi Rasyid, anak ibarat sebuah toples, tergantung diisi oleh apa. Jika diisi dengan kebaikan terus menerus, toples itu akan luber dan mereka bisa membaginya dengan orang lain. Sebaliknya, jika yang ada di memori mereka adalah hal buruk, itu pula yang akan mereka berikan kepada orang lain.

Di kamar, ia memejamkan mata. Trauma masa kecil kembali terbayang. Ia tak pernah membuat kesalahan besar, hanya kenakalan kecil khas anak-anak. Rasyid tak pernah mengalami masa kecil yang indah. Masa indahnya adalah ketika ia mulai kuliah dan jauh dari orang tua.

Masih segar dalam ingatan ketika ibunya marah hanya karena perkara sepele. Di saat yang lain bermain dengan teman sebaya, Rasyid tidak. Ibunya akan murka jika Rasyid pulang terlambat.  Biasanya, hati anak akan merasa tenang jika mendengar kata ibu, tetapi tidak baginya. Ia merasa takut dengan ibunya. Jangankan mendengar suaranya, menatap matanya saja ia tak berani.
Ia juga tidak tahu mengapa selalu ketakutan ketika mendengar kata ibu. Tidak ada rasa segan dan sayang kepada kedua orang tuanya, yang ada hanya perasaan takut jika melakukan kesalahan. Orang tuanya menginginkan anaknya tampil sempurna sesuai standar mereka.

AlinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang