"Apa itu, Sam?" bisik Sky lirih. Degup jantungnya secara spontan berirama cepat bersamaan dengan perasaan takut yang mulai tak terkendali.

"Sky, aku takut," rengek Elline sambil memeluk Sky erat, matanya memejam, tak memiliki keberanian untuk melihat sosok apa yang kini telah bermunculan dari balik semak di antara pepohonan.

Samuel memundurkan diri beberapa langkah. Melindungi kedua gadis remaja yang berdiri di belakangnya. Bayangan hitam itu merangsek maju dan muncul bergerombol dari balik semak belukar.

"Lari!"

"Ayo, cepat ... lari!" ulang Samuel memberi instruksi. Mereka berlari kencang. Degup jantungnya berdebar memukuli dada, napas mereka memburu, terengah-engah kelelahan.

Para Imp mengejar, siluetnya memperlihatkan tanduk seperti ranting yang bercabang. Tubuh mereka sedikit bongkok serta berukuran lebih kecil dari manusia normal.

Mereka berlari sekuat tenaga. Ranting-ranting menggores kulit dan mencetak luka-luka di tubuh ketiganya.

"Sky, aku tidak kuat berlari lebih jauh," keluh Eline tampak sedih. Sudah entah berapa lama mereka berlari dan makhluk itu belum berhenti mengejar.

"Cari tempat persembunyian, Sam! Kita tidak akan berlari terus. Kami lelah," protes Elline lagi.

Mereka berhenti sejenak ketika para Imp terlihat belum terlalu dekat. Ketiganya akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di balik semak dengan tinggi sekitar tiga meter. Napas menderu dan peluh bercucuran. Para Imp yang mengejar mereka tadi sepertinya telah kehilangan jejak tiga remaja itu. Mereka bisa bernapas lega.

"Woah ... rasanya hampir tidak percaya aku baru saja melihat Imp dengan mata kepalaku sendiri," celetuk Samuel antara takjub dan heboh.

"Kau tidak bisa membaca situasi, hah?! Kita harus pulang, tempat ini mengerikan, Sam. Kupikir tak ada waktu memikirkan kekaguman bodohmu itu! Kita akan mati di sini," tegur Elline frontal.

"Siapa yang lebih bodoh? Jika tadi kau tidak sembarangan membuka buku itu, kita tidak akan muncul di antah berantah ini, karenamu kekacauan ini timbul, El!" balas Samuel dengan alis menyatu.

"Aku tidak mau tahu, aku mau kita pulang." Mata Elline melotot, seolah mencari siapa yang paling bersalah di antara ketiganya.

"Kau kira segampang itu?! Memangnya kau tahu apa tentang tempat ini?" Nada suara Samuel terdengar sumbang.

"Sudah, cukup! Tak ada habisnya kalian bertengkar. Lebih baik kita cari bantuan," ucap Sky yang langsung berjalan memimpin.

Di belakang, Elline dan Samuel masih  bertengkar dengan sengit. Menyikut satu sama lain. Ketiga remaja itu berjalan tanpa tahu arah dan hanya mengandalkan insting.

Sudah sepuluh menit mereka berjalan kaki. Hampir setiap dua menit sekali Elline meminta untuk berhenti agar bisa beristirahat.

"Kita harus tetap berjalan. Kita tidak mungkin berlama-lama di sini. Para Imp akan menangkap kita!" seru Sky.

"Kalau Elline tidak mau berjalan lagi, sebaiknya kita tinggalkan saja dia di sini, Sky," papar Samuel egois.

"Sam, please! Jangan mulai lagi!" tegur Sky menengahi.

"Hei, lihat! Ada sebuah pondok di sana," kata Samuel dengan wajah berbinar penuh harap. Tak menunggu lama, mereka segera berjalan menuju pondok tersebut.

Keadaan pondok terlihat sedikit tidak terawat. Namun, halamannya dipenuhi bunga-bunga cantik berbaris rapi, tumbuhan di tempat itu tampak tak familiar di alam manusia.

Samuel mengetuk pintu tidak sabaran, tetapi tak ada jawaban hingga ia berusaha mendorong pintu.

"Hei, itu tidak sopan tahu! Kau tidak boleh sembarangan masuk rumah orang tanpa permisi, jangan mendobrak pintunya!" ucap Elline. Samuel tak mengindahkan perkataan temannya itu.

ErasmondWhere stories live. Discover now