the beginning of the story

Magsimula sa umpisa
                                    

Jawab pelayan Chenle tanpa melihat ke arah Jeno, matanya ia fokuskan pada mistar dingin berwarna abu-abu.

Jeno tak bergeming, ia terus melangkah dengan cepat. Matanya sirat akan kekhawatiran pun dengan hatinya. Sejak mendapat kabar bahwa Renjun terjatuh ke dalam kolam, ia langsung izin kepada penjaga Na untuk pulang ke paviliunnya.

Sesampainya di kamar khusus pelayan, Jeno segera mendekati tempat berbaringan Renjun. Terlihat Renjun masih sangat lemas, kulitnya memutih dan sedikit berkerut tanda bahwa ia kedinginan.

“Istirahatlah, jangan sampai kau ulangi lagi kejadian yang tadi jika ingin tetap hidup Huang Renjun.”

Jeno berucap sambil mengamati lamat mata Renjun yang terarah pada langit-langit kamarnya. Suara sirat akan tuntutan pun kekhawatiran namun sepertinya Renjun sama sekali tak geming dengan hal itu.

“Itu urusanku, tolong jangan ikut campur Tuan.”

Tanpa rasa takut, Renjun menjawab. Matanya yang tadi melihat ke langit-langit kamar ia arahkan tepat di mata gelap sang Putra Mahkota.

Jeno acuh, ini bukan kali pertama Renjun membakang. Ia tahu betul, pelayannya satu ini memang keras kepala dan susah diatur. Ia sewajarnya marah dan murka. Namun, Jeno tak bisa. Ada satu hal yang membuatnya seperti ini. Ia tak ingin kehilangan Renjun-nya.

“Tolong dengarkan aku sekali ini saja Huang, bagaimana kalau Raja sampai tahu bahwa kau berniat bunuh diri? Apa kau gila?”

Jeno dengan ragu berjongkok, menyetarakan posisinya dengan Renjun. Ia tatap Renjun dengan tatapan memohon. Ia tak ingin Renjun berada dalam bahaya, jika Raja sampai tahu hal ini.

“Memang, bahkan aku sudah gila sejak ada di sini. Kalau kau ingin tahu,”

“Baiklah. Aku mohon maaf, tapi tolong jaga dirimu. Aku tidak mau kau dalam bahaya.”

Jeno segera bergegas pergi dari kamar pelayan, ia sedikit tertegun dengan respon yang diberikan oleh Renjun. Apakah ia benar-benar ingin pergi meninggalkannya? Setelah semua yang telah mereka lewati bersama?

Jeno bersusah payah agar Renjun tetap berada di sisinya dan dalam keadaan yang baik. Namun ternyata pemuda Huang itu sama sekali tidak menghargai hal itu. Hatinya terasa tercabik. Dan payahnya, ia tetap di posisi yang sama, mengharapkan Renjun untuk terus berbagi kebahagiaan dengannya.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Mata Renjun mengerjap, saat sinar matahari yang menyilaukan mengenai mata indahnya. Tubuhnya terasa lebih baik dari malam tadi. Kejadian semalam benar-benar bukan kehendaknya. Ia sendiri bahkan tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Renjun kau sudah bangun?”

Seorang pelayan — Jisung, menghampiri Renjun sambil membawa nampan yang berisi makanan dan minuman.

“Syukurlah, ini sarapan dulu. Kau pasti lapar kan?”

Timpal Jisung, setelah pertanyaan yang ia lontarkan tak mendapatkan jawaban dari Renjun.

“Jisung,” panggil Renjun dengan suara parau.

Jisung hanya menatapnya, sambil menunggu kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh Renjun.

“Sebenarnya, apa yang terjadi kepadaku semalam?”

Matanya tak lepas menatap Jisung, memohon agar Jisung berkata dengan jujur. Karena yang terakhir Renjun ingat, hanyalah ia dan Jisung yang sedang berjalan di atas jembatan gantung, bercengkrama sambil berbagi candaan. Hanya sampai situ ingatan tentang semalam yang ada di otak Renjun.

“Renjun, apakah kau benar-benar lupa?”
Ucap Jisung, ia hanya sekadar memastikan apakah Renjun benar-benar lupa dengan kejadian semalam?

“Huh?”

“Maaf Renjun, tapi kejadian semalam aku—,”

Tok tok tok

Ketukan pintu terdengar dengan nyaring, Renjun dan Jisung segera menatap ke arah pintu. Nampan yang sedari tadi masih berada di atas paha Jisung segara Jisung pindahkan ke meja yang berada di sisi kanan berbaringan pelayan Renjun.

“Silakan masuk,” ucap Jisung.

Jeno beserta tabib kerajaan masuk. Jeno sengaja membawa tabib khusus keluarga kerajaan untuk memeriksa Renjun. Ia hanya ingin Renjun kembali sehat dan ceria lagi.

“Tolong segera periksa pelayan Renjun, pastikan kondisinya baik-baik saja. Jika ada gejala yang membahayakan, cepat tangani, dan beri dia obat.”
Titah Jeno sambil mengamati kondisi Renjun, ia rasa Renjun sudah lebih baik dari semalam. Syukurlah, ia sedikit tenang dan lega.

“Baik Tuan,” ucap Tabib Kim—tabib khusus kerajaan.

to be continued

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Jan 18, 2023 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

Desire Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon