Beberapa menit kemudian, pintu kamar milik Samatoki kembali dibuka. Seorang pria berbadan tegap dan berotot masuk, ikut bergabung dengan keduanya di kamar itu.

"Jyuuto, aku menangkap seekor kelinci hutan tadi. Jadi ku masak menjadi semur kelinci." Ujarnya sembari mengangkat panci yang masih tertutup di kedua tangannya. Tak lupa juga, senyuman yang mengembang di bibirnya.

"E? Tadi kamu bilang apa, Rio?" sang polisi memandang horror mantan tentara di depannya. Apa tadi dia bilang? Kelinci?! Daging kelinci?!

"Aku habis menangkap kelinci hutan dan ku masak menjadi semur dengan beberapa bum..."

"Hai! STOP STOP STOP!" Jyuuto berteriak. "Bukan itu maksud saya. Kenapa kamu membunuh kelinci tak berdosa itu, Rio?"

"Memangnya kenapa? Daging kelinci memiliki banyak manfaat. Selain itu daging kelinci juga mengandung banyak lemak omega 3 yang baik untuk jantung. Lalu..."

"Oke oke. Sudah cukup!" helaan napas panjang dan berat meluncur dari bibir sang Polisi Yokohama.

"Hahaha..." Samatoki tertawa untuk pertama kalinya setelah ia tertidur selama dua hari. Meskipun ia tertawa dalam artian mengejek sang Polisi Berkacamata itu. Sepertinya kedatangan Rio yang membawa semur kelinci sukses membuatnya kembali pada dirinya yang biasanya. "Aku mau deh Rio."

"Boleh. Akan aku ambilkan alat makanmu Samatoki."

"Oke. Tapi jangan berikan pada Jyuuto."

"Hm? Memangnya kenapa?"

"Hahaha.. bukan apa-apa. Hanya saja kasihan kalau dia jadi kanibal dengan memakan yang satu spesies dengannya."

"Hm? Kenapa kau berkata begitu Samatoki? Jyuuto adalah manusia, sedangkan kelinci itu hewan. Jadi tidak satu spesies bukan?"

"Hahahahahahaha!!!!" gelegar tawa pecah seiring dengan pandangan sebal Jyuuto dan pandangan bingung dari Rio yang menghujaninya.

"Berhenti tertawa kau Kuda!"

"He! Masih disini? Nggak ikut sama saudaramu? Itu tuh. Di panci yang dibawa sama Rio?" tawa Samatoki sama sekali tidak mereda.

.

.

.

.

"Hei, Samatoki."

"Hm?" gumaman menjadi jawaban. Samatoki masih tetap menunduk, memakan suap demi suap semur kelinci yang dibuat Rio. Ia menikmati daging kelinci yang dimasakkan oleh Rio. Tak menyangka bahwa hewan seperti itu memiliki daging yang enak. Rio memang pintar memasak. Buktinya saja sup itu terasa sangat pas di lidah Samatoki. Mungkin pria kekar itu bisa menjadi seorang koki professional, kalau saja bahan-bahannya benar.

Sesekali, yakuza itu bahkan memamerkan daging kelinci yang ia gigit di depan Jyuuto. Rasa ingin menggoda Polisi Yokohama itu tidak memandang situasi. Dan orang yang bersangkutan hanya bisa menatap sebal sang pelaku. Yah... Masih untung ia dimasakkan semur kelinci, bukannya semur tikus atau semur kalajengking.

"Kau tau," Jyuuto kembali bersuara. Suaranya tenang. "kau bisa bercerita pada kami. Aku tau, kami tau, kau terusik dengan kedatangan adikmu."

"Aku sama sekali tidak terusik."

"Kau terusik, Samatoki. Tembok pertahanan yang selama ini kau bangun sudah hancur begitu bertemu dengan adikmu beberapa hari yang lalu. Kau hancur bersamaan dengan munculnya Nemu dengan seragam Chuuouku."

"Kau cerewet sekali Kelinci." Samatoki tetap menunduk. Enggan memperlihatkan seperti apa wajah hancurnya pada kedua sohibnya itu.

"Samatoki, kami tidak akan kemana-mana." Suara berat Rio menambahkan. "Kami percaya padamu, dan kau juga percaya pada kami bukan?"

"Pundak seorang manusia itu terlalu sempit dan rapuh jika harus menanggung banyak beban. Tapi kau berbeda. Kau punya kami. Kau masih punya dua pundak lain untuk ikut memikul bebanmu."

"Tidak perlu memikulnya sendiri. Tidak perlu memikirkannya seorang diri. Kami disini, akan selalu mengikutimu. Kita bisa menyerang Chuuouku bersama. Lalu menyelamatkan adikmu dan juga Letnan ku." Rio dan Jyuuto tersenyum ke arah Samatoki. Memperlihatkan seberapa besar tekad mereka.

Hening menyelimuti acara makan-makan mereka. Tak ada satupun yang berbicara setelah pengakuan keduanya.

Sendok di tangan diremat. Mereka benar. Mereka tim. Mereka teman. Mereka sahabat. Tidak ada salahnya mempercayai mereka. Tidak ada salahnya memberikan sebagian beban yang sudah lelah ia pikul sendiri.

Dalam otaknya ia mengingat sebuah kalimat. Dan kalimat itu terus-menerus berputar di dalam kepalanya. Sebuah kalimat penyemangat dari dirinya yang masih bocah. Sebuah kalimat yang sempat ia lupakan ketika dirinya membuka mata tadi. Bocah itu berkata,

"Untuk apa kau berpikir aneh-aneh? Tinggal bantai semua yang menghalangi jalanmu untuk membawa Nemu kembali. Dan bukankah kau memiliki rekan gila yang mau ikut memikul beban beratmu, Paman?"

"Kalian tau," Samatoki membuka suara setelah terdiam cukup lama. "Aku sama sekali tidak menganggap kalian hanya sebagai anggota tim. Aku rasa, aku menganggap kalian lebih dari itu." Ia tersenyum tulus kepada dua orang di depannya. Sebuah senyuman tulus yang bahkan sangat jarang ia perlihatkan pada siapapun.

Ruby menatap keduanya. Dan hanya dengan melihat kedua sohibnya itu membuat beban di hatinya sedikit terangkat. Padahal satu jam yang lalu dirinya masih larut dalam kesedihan dan keputus asaan. Tapi sepertinya sekarang ia sudah baik-baik saja. Mimpi buruk itu seakan perlahan menjauh dari otaknya. Berganti dengan wajah kedua sahabatnya yang selalu ada untuknya, selalu menjadi penopang baginya, selalu mensupport dirinya. Ia bangga akan kedua temannya itu. Mereka tak hanya sekedar rekan seperjuangan, tapi mereka memiliki ikatan yang lebih daripada itu. Mereka adalah teman. Mereka adalah sahabat.

Dan berani taruhan. Seorang Aohitsugi Samatoki pasti sudah menganggap mereka selayaknya keluarga.

7 DAYS 『完』Donde viven las historias. Descúbrelo ahora