Sedikit Kekacauan

Mulai dari awal
                                    

   Raut pucat Muzan terlihat panik. Ia dapat merasakan tubuh Tanjiro yang panas. Erangan—tidak rintihan itu terdengar di telinganya, seakan memberitahu bahwa sang pemilik tubuh sedang menahan sakit yang teramat sangat.

“Apa yang kau lakukan padanya, Kokushibo?” pertanyaan itu di sambut sujud Kokushibo.

“Aku tidak melakukan apa-apa Muzan-sama. Tadi, saat kami selesai bermain, Ia langsung tertidur.” Lugasnya.

   Muzan menggeram rendah, Ia benci situasi ini. Sedangkan Tanjiro—pemuda itu telah menangis. Air mata yang keluar itu memberitahu seberapa sakit yang Ia tahan.

“Douma.”

“Ya, Muzan-sama.” Douma langsung bersimpuh.

“Apa Tanjiro makan saat Ia bersama denganmu?”

Pertanyaan dengan nada tegas itu menggetarkan Douma.

“Ya, dia makan. Tapi... Tanjiro tidak memakan daging manusia, melainkan memakan manisan dan makanan sesembahan.” Ucap Douma gugup.

   Belum sempat Muzan membalas perkataan itu, Tanjiro langsung menggigit leher Muzan. Ia meneguk darah itu candu. Seakan Muzan adalah salah satu hal yang bisa Ia 'makan'. Badan Muzan sendiri bergetar. Baru kali ini Ia merasa bagaimana rasanya jadi mangsa. Meskipun begitu, Ia menikmati tiap sesap dan tiap lenguhan puas Tanjiro saat meminum darahnya.

   Tanjiro berhenti pada tegukan ke sepuluh. Tautan antara leher Muzan dan bibir Tanjiro Ia lepaskan. Mata Tanjiro menatap penuh kagum pada sosok yang menggendongnya. Ia tersenyum senang, sebelum kegelapan kembali menguasai dirinya.

   Sedangkan Muzan masih terpaku dengan senyuman yang baru saja diberikan oleh Tanjiro.

.

.

.

   Nakime menatap pemuda yang tertidur di salah satu bilik buatannya. Pemuda manis yang berhasil menangkap hari para upper moon. Akaza menunggu dibalik pintu geser, Ia di tugaskan untuk menjaga Tanjiro. Di sebelah Akaza, berdiri Douma yang menyilangkan tangan.

“Akaza, kembalilah ketempatmu. Biar aku saja yang menjaga Tanjiro.” Rengekan itu terulang kembali. Akaza hanya bisa menghela napas berat.

“Sudah kubilang, dari awal aku di tugaskan untuk menjaga Tanjiro. Kau pergilah, makananmu pasti kebingungan jika kau tidak ada di singgasanamu.” Tukas Akaza.

“Aku maunya bersama Tanjiro...” balas Douma dengan rengekan lagi.

   Akaza hendak membalas rengekan Douma, hanya saja pintu kayu itu bergeser. Menampilkan sesosok iblis yang baru bangun. Melihat itu, Akaza langsung berdiri, Ia sedikit membungkuk—menyamakan posisi. Senyum terbit di wajah yang lebih muda.

“Selamat pagi... Umm” Raut Tanjiro menampakkan kebingungan.

“Akaza, namaku Akaza.” Senyum menghiasi wajah Akaza.

“Selamat pagi Akaza-san. Oh, selamat pagi Douma.” Tanjiro balas senyum.

   Kedua upper moon itu terpana, seakan melihat matahari terbit di kegelapan. Bahkan Nakime yang tidak pernah bergerak dari tempatnya dengan memetik biwa. Tanjiro langsung berada di hadapan Nakime yang pipinya bersemu.

“Selamat pagi, Tanjiro-san. Saya Nakime upper moon ke delapan.” Ucap Nakime pelan.

“Selamat pagi, Nakime-san.” Tanjiro masih dengan senyumnya.

   Sedangkan Akaza dan Douma sudah merutuki Nakime karena merebut Tanjiro dari mereka.

.

.

.

   Akaza menunjukkan beberapa stan makanan yang mungkin enak. Sedangkan Tanjiro, selalu membeli makanan yang di beri tahu Akaza. Syukurnya Muzan adalah iblis yang kaya—sehingga Ia memberikan banyak uang untuk Tanjiro.

   Perjalanan mereka berakhir pada ujung desa. Di sana ada sebuah bangunan usang yang menarik perhatian Tanjiro. Akaza hanya bisa menatap tempat itu dengan pandangan yang sendu, seakan tahu—Tanjiro menatap Akaza dengan pandangan bertanya.

“Ini tempat apa, Akaza-san?”

“Ini... Rumahku.”

    Angin menerbangkan anak rambut Tanjiro yang suaranya tercekat. Akaza hanya diam menatap Tanjiro yang menurutnya cantik. Karena jengah dengan keheningan, Akaza tersenyum lembut serta mengelus surai Tanjiro perlahan.

“Sudah, tak usah di pikirkan.”

   Nyatanya Tanjiro tetap bergeming, Ia menunduk sehingga Akaza tak dapat melihat wajahnya. Namun begitu, sesal di dada Tanjiro kian terasa. Beberapa tetes air mata tumpah—membasahi bumi yang jadi pijakan. Tentu saja Akaza kaget bukan kepalang, sehingga dia mengguncang bahu Tanjiro sedikit kuat.

“Tanjiro, kau kenapa? Ada yang sakit?” cemas memasuki relung hati Akaza.

   Kalimat itu mendapat balasan berupa pelukan yang entah kenapa terasa sangat hangat. Tanpa sadar, tangan Akaza bergerak untuk balas memeluk—tidak, dia mendekap Tanjiro erat, seakan Tanjiro akan hilang dari sisinya.

.

.

.

   Suara gelang kaki itu terdengar di sepanjang lorong. Tapak basah menghiasi setiap langkah pemuda itu. Muzan berdiri di depan sebuah bilik hanya untuk mendapatkan sebuah senyuman manis yang menyambut pulang.

“Selamat datang, Muzan-sama.” Ujar Tanjiro dengan senyum yang merekah.

“Aku pulang, Tanjiro.” Senyum simpul Ia tujukan sebagai balasan.

“Apa Muzan-sama lelah? Aku baru saja membeli sesuatu untuk Muzan-sama!” antusiasme terbang,

   Tanjiro menyerahkan sepiring dango. Muzan menautkan alis pertanda heran. Tetap saja, Ia tak bisa menolak pemberian Tanjiro. Jadi dengan keraguan Ia mengambil manisan itu dari Tanjiro.

“Terimakasih” lontaran kalimat singkat itu dapat membuat pipi seorang Tanjiro bersemu.

   Muzan yang memperhatikan itu hanya bisa terkekeh ringan. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Tanjiro yang kecil. Menuntun mereka untuk masuk ke salah satu bilik untuk menyantap dango.

   Hamparan kebun bunga yang indah tersaji di depan mereka. Menimbulkan perasaan akan musim panas dan kenangan menyenangkan—yang bahkan tak pernah terjadi. Tanjiro hanya menatap ke arah hamparan bunga itu, lalu menatap Muzan yang sudah duduk terlebih dulu di salah satu gazebo. Sadar jika Ia sedang di perhatikan, Muzan menepuk pelan tempat di sebelahnya.

“Ini indah, Muzan-sama...” Tanjiro membuka topik.

“Indah ya...” perkataan Muzan tergantung, detik selanjutnya Ia hanya menganggukkan kepala.

“Ini” sebuah dango di berikan.

“Apa boleh?” Tanjiro bertanya dengan pelan.

“Tentu saja!”

   Muzan senang saat dango itu sampai ke tangan Tanjiro. Ia senang melihat Tanjiro yang memakan dango itu dengan lahap. Muzan kembali menyodorkan sepiring dango itu untuk Tanjiro.

“Huh? Muzan-sama, Anda tidak mau makan dango?” kerutan muncul di dahi Tanjiro.

“Ya, aku sedang tak ingin memakan dango. Jadi Aku ingin kamu memakannya untukku.” Ujar Muzan.

   Tanjiro terpaku dalam diam, dia menundukkan kepalanya.

“Maafkan aku Muzan-sama. Aku tidak tahu jika Muzan-sama tidak suka dango. Aku... Sungguh bodoh.” Lirihan itu terdengar.

   Muzan terkekeh ringan, Ia menangkup pipi Tanjiro. Tersenyum, seolah itu adalah hal yang lumrah. Detik selanjutnya, Muzan mengecup bibir Tanjiro pelan.

EGO [DISCONTINUED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang