Junkyu tersenyum mendengarkan cerita Nyonya Irene. Ternyata dia dan Si Buruk Rupa mempunyai kesamaan yang nyata. Keduanya sama-sama kehilangan sosok ibu yang selalu ingin mereka rasakan kehadirannya. Setidaknya dia lebih beruntung karena dia masih punya ayah yang menyayanginya, walaupun terkadang masih konservatif dan overprotektif. Walaupun sama, tapi cara Si Buruk Rupa salah. Walaupun mereka berbagi rasa sakit yang sama, apa yang telah dilakukannya tidak bisa dijustifikasi.

Semenjak kisah itu terpahat jelas di telinganya, setiap hari, Junkyu selalu menunggui Si Buruk Rupa yang tidak kunjung bangun. Bahkan, dia juga yang selalu mengganti balutan perban yang sudah penuh dengan darah dengan perban yang baru dan mengobati lukanya. Seperti yang dilakukannya saat ini. Dia dengan setia menunggunya bangun sambil menyisir rambutnya dan menghafal kembali petikan kalimat yang terdapat dalam buku-buku yang pernah dia baca.

"But with the mind and therefore..."

"And therefore is winged cupid painted blind."

Junkyu menoleh terkejut ketika mendengar suara Si Buruk Rupa yang melanjutkannya. Dia tersenyum terang melihat Si Buruk Rupa yang sudah berhasil membuka matanya. Walaupun masih berbaring, setidaknya dengan membuka mata dan dapat merespon dirinya saja sudah membuatnya senang. "Kau bangun?"

"Kau menyukai Shakespeare?"

Bukannya menjawab pertanyaan retoris itu, Si Buruk Rupa malah bertanya. Junkyu tentu saja tidak bisa lari ketika ada seseorang yang menyinggung salah satu kesukaannya, yaitu buku. Dia mengangguk dengan antusias sebagai jawaban atas pertanyaan Si Buruk Rupa.

"Akan kutunjukkan sesuatu."

"Tapi lukamu belum kering."

"Tolong bantu aku berjalan."

-

Si Buruk Rupa membuka sebuah pintu merah megah itu dengan kedua tangannya. Menampakkan sebuah perpustakaan besar dengan ribuan buku yang tertata rapi di setiap raknya. Interior yang melingkar dengan gaya klasik nan nyaman membuat siapa saja yang melihat akan terpana. Apalagi teruntuk pecinta buku sepertinya. Ini adalah surga baginya. Raganya seolah terisi kembali ketika dia dapat mencium bau khas buku yang menyeruak masuk dengan sopan ke hidungnya. Dia memekik bahagia ketika Si Buruk Rupa membiarkannya membaca semua buku yang dia mau. Dengan semangat yang masih membara, dia mengelilingi ruangan dengan benda persegi panjang yang memiliki begitu banyak judul dan isi yang beragam. Begitu riang ketika meninggalkan Sang Pemilik seperti orang mati di dalam perpustakaan pribadinya sendiri.

Mungkin karena satu kesamaan membawa semua perubahan kecil yang tidak disadari oleh keduanya. Berawal dari buku, membuat keduanya bisa bicara lepas tanpa canggung atau pun merasa kaku. Obrolan menjadi sangat atraktif dan selalu masuk akal di keduanya. Seperti sebuah talkshow non-stop yang terjadi setiap harinya. Bahkan bukan hanya kegiatan berbuku mereka. Semua aspek kehidupan mereka berubah 180°. Kini, tak ada lagi pergulatan yang memenuhi kastil. Tak pernah terdengar lagi geraman buas atau pun teriakan penuh penolakan.

Entah bagaimana awal mulanya, makan malam berdua bukanlah suatu hal yang menjengkelkan. Saling duduk di ujung dengan makanan yang tersedia. Bahkan mungkin jalan-jalan mengelilingi kastil dengan buku di genggaman tak pernah berubah menjadi amarah. Yang sedikit lebih parah, hanya bertukar senyum saat bertemu bisa membuat hari mereka lebih tenang. Sungguh berbeda dengan kesan pertama.

Namun terkadang, Junkyu benci dengan cara makan Si Buruk Rupa yang ketika makan sup tomat dengan menjilat atau meneguk dari mangkuknya secara langsung, seperti seekor hewan. Sangat tidak sinkron dengan keadaan meja dan ornamen di sekitar yang tampak begitu elegan. Apalagi dengan baju yang dipakainya. Percaya atau tidak, dia mulai berpakaian dengan rapi. Tidak berdandan seenaknya seperti sebelumnya.

Hal ini semata-mata dia lakukan untuk menghormati lelaki yang tengah mengajarinya makan sup menggunakan sendok. Bahkan, menurut Hyunsuk, yang lebih aneh lagi, Tuannya itu mulai menggunting cakarnya. Namun, menggunakan sendok adalah hal yang terlalu susah sehingga dia menyerah, kembali pada cara makan sup ala hewannya.

Kali ini buku karya Wordsworth menjadi favoritnya setelah dia menghabiskan milik Wilde, Austen dan Hemingway. Berjalan bersama sambil membaca bait tiap bait di atas jembatan kayu yang ada di taman belakang kastil dengan Si Buruk Rupa yang mengekor di belakang, yang terkadang ikut membaca dalam ingatannya. Mungkin saat malam, Junkyu yang duduk berhadapan dengannya akan berpindah ke sebelahnya, bersenda gurau sambil mencari ketenangan dari eksistensi masing-masing. Atau saat ini, mereka duduk di bawah mistletoe yang tumbuh secara tidak mengejutkan di daerah bersalju ini membuat percakapan keduanya terasa lebih intim.

"Aku belum berterima kasih karena kau sudah menyelamatkanku."

Si Buruk Rupa menutup bukunya, lalu meletakkannya di sebelahnya. "Aku juga, untuk kau yang tidak meninggalkanku. Mungkin kalau saat itu kau meninggalkanku aku sudah jadi santapan serigala lapar itu."

Senyuman Junkyu menjadi tanggapan. Si Buruk Rupa berdiri, berjalan, menatap bagian kastilnya yang berubah menjadi mengerikan. Bahkan salju yang turun tak pernah berhenti. Selalu siap siaga menghujani kastilnya. Menciptakan sebuah mantel tebal yang mengelilingi. Kini, patung serigala maupun gagak yang menempel di dinding depan sudah tampak tidak mengerikan lagi. Sudah terkikis dengan balutan salju tebal. Tak sama seperti dulu lagi. Tak ada lagi kastil megah nan rupawan. Kegiatan mengamatnya berhenti ketika dia merasakan sesuatu mengenainya dengan suara kikikan dari arah yang lain. Dia menoleh, tertawa kecil ketika melihat siapa pelakunya.

Lelaki itu, Kim Junkyu sudah siap dengan bola salju lain di tangannya. Menatapnya dengan menantang, dengan cepat dia mengambil tumpukan salju dan melemparkannya pada Junkyu. Entah saljunya yang terlalu banyak atau Junkyu yang kurang bersiap. Lelaki itu jatuh, menciptakan tawa lain dari sebrang sana. Junkyu yang kesal segera melempari pria besar yang sedang menertawainya dengan salju yang dia ambil secara acak.  Mereka terus melakukan itu sampai tidak sadar bahwa mereka mungkin terjebak dalam sebuah ikatan manis yang diciptakan oleh keduanya sendiri. Tawa yang menciptakan hangat di atas salju.

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Riki sedikit merasa menyesal karena sudah mengiyakan untuk ikut mencari Junkyu di tengah hutan. Kereta kuda yang dikendarai oleh Sunghoon, Tuan Kim dan dirinya tidak bisa dikatakan berjalan dengan cepat. Apalagi dengan tujuan Tuan Kim yang terbilang sangat jauh. Ini sudah hampir larut malam, mereka berjalan sejak siang, tak menemukan apa pun selain jalanan yang sama. Sunghoon sungguh ingin mendamparkan pria tua yang menurutnya cukup menyusahkan jika saja semua ini bukan karena Junkyu. Dirinya penuh amarah. Hanya ada keheningan malam berserta para penghuni mungilnya.

"Kita akan sampai jika sudah dekat dengan tebing bersalju."

Ucapan Tuan Kim menimbulkan tanda tanya besar bagi Sunghoon maupun Riki. Bersalju? Apa ada hal gila lain yang akan dikatakan oleh pria tua ini? Salju di musim panas adalah sebuah bualan besar di abad ini.

"Apa kau berkata hal yang benar, Tuan Kim? Kurasa kita hanya mendapati jalanan yang serupa sejak sedari siang." Sunghoon berucap, mencoba terdengar sopan. Tuan Kim hanya mengangguk. Tentu saja hal ini mendapat respon negatif dari hati Sunghoon dan Riki. Tak punya pilihan lain, mereka tak melanjutkan mematuhi Tuan Kim.

"Tuan Kim, jika kau hanya mempermainkan kami, aku sungguh akan menurunkanmu di sini."

"Aku tidak berbohong! Sebentar lagi kita sampai."

Kesabaran Sunghoon hampir habis. Rasanya begitu dipermainkan oleh sosok tua yang ada di sampingnya ini.

"Tunggu sebentar, sepertinya aku ingat." Ucap Tuan Kim sembari turun dari kereta. Dia mengambil salah satu lampu yang ada di ujung kereta, mencoba menerangi salah satunya. Memastikan bahwa kali ini dia memasuki jalan yang benar. Melihat kesempatan ini, kedua pemuda itu berencana untuk meninggalkan Tuan Kim. Mereka sudah muak. Persetan dengan menjadi menantu baik hati.  Mereka memukul kepala Tuan Kim hingga tak sadarkan diri, lalu mengikatnya erat di bawah pohon dengan tali tambang yang ada di kereta.

"Biarkan saja pria tua ini di sini. Bukankah akan lebih muda jika aku menikah tanpamu, ayah mertua?"

Sunghoon menyeringai. "Riki, kembali ke desa. Kita cari Junkyu besok."

Beauty and The Beast [Harukyu Version]Where stories live. Discover now