"CHOI HYUNSUK!"

-

Si Lilin, yang selalu setia ditemani oleh Si Jam menghadap Tuannya yang kali ini murka besar. Bukannya dia tidak tahu tabiat Tuannya yang selalu saja marah tanpa sebab. Namun, kali ini adalah kesempatan terakhirnya. Kesempatan langka yang tidak akan datang menghampiri. Sebut saja, mereka akan mati jika kesempatan ini disia-siakan. Jadi, kemarahan Tuannya sudah dia antisipasi sebagai konsekuensinya.

"Kau membebaskan anak pencuri itu tanpa izinku! Apa yang kau pikirkan? Menyuruhnya makan bersamaku?"

Tuannya berteriak dengan geraman khas di akhir katanya. Geraman buas yang hampir selalu benda di sekitarnya ikut bergetar.  Bisa dilihat tatapan sebuas singa dengan taring kuat dan besar itu masih menggantung di sana. Bahkan, lalat yang lewat pun mati tak berdaya.

Si Lilin tersenyum, menampakkan senyum hangatnya. "Tuan, ini adalah sebuah kesempatan. Kelopak mawar terus berjatuhan, sementara badan kami semua semakin lama semakin mengeras. I become more metalic after the petal fell. Apa Tuan tidak merasakan semakin lama badan Tuan semakin sakit?"

Retoris. Si Buruk Rupa tentu saja tidak perlu menjawabnya. Dia tahu jelas apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh lilin antik itu. Dia kembali mengingat setiap raungan yang dia berikan setiap kali kelopak mawar yang ada di dalam tabung kaca jatuh. Satu per satu, seperti didatangi kematian secara perlahan. Dia menatap badan pelayannya itu. Mungkin akan mengenaskan melihat lilin dan jam antik itu terus berubah semakin melogam. Juga dengan yang lain. Terlebih lagi, selama ini tak ada yang datang ke sini kecuali ayah dan pemuda itu. Sepertinya, dia harus menyingkirkan egonya sejenak.

-

Sosok besar dengan bulu kumal itu sedari tadi hanya mondar-mandir di depan sebuah pintu kayu besar dengan ukiran yang memikat hati. Otaknya rasanya berbalik dan berputar-putar. Lucu. Ini bukan pertama kalinya bicara dengan seorang pemuda asing. Dulu, dia bahkan gemar mengajak para gadis dan lelaki manis untuk bercumbu dan menikmati malam bersama. Sesuatu yang aneh membuatnya kehilangan rasa percaya diri. Apa ada sesuatu yang salah dalam darahnya?

"Bagaimana kalau dia menolak?"

Semua orang menatap Tuannya itu dengan tatapan seolah-olah ingin mengatainya payah. Sejak kapan pria angkuh di depan mereka ini berubah mental seperti daun semanggi yang ditiup angin? Sangat aneh.

"Ajak dia dengan lembut, Tuan. Jangan membentak atau memaksa." Teko cantik itu berucap, siapa pun pasti tahu Nyonya Irene adalah seorang wanita hangat yang selalu dapat menenangkan siapa saja.

Si Buruk Rupa menghela napasnya dengan berat. Kenapa dia bisa menjadi selemah ini hanya untuk mengajak seorang pemuda, anak seorang pencuri untuk makan malam bersama. Dia sendiri cukup mempertanyakan hal yang sama. Dengan keberaniannya, dia mencoba mengetuk pintu dengan pelan.

Sementara di dalam sana, Junkyu yang sudah bersiap dengan kain-kain yang dia ikat menjadi satu. Dia menurunkan kain yang menjuntai ke bawah melalui jendela, berharap akan mencapai permukaan tanah. Sebetulnya, dia tidak yakin. Terlalu tinggi dan gelap. Namun, tak ada salahnya mencoba. Semua kain sudah dia ikat sekencang mungkin agar tidak membahayakan dirinya. Saat tengah melompat keluar, sebuah ketukan pelan mengganggunya. Buru-buru, dia menutupi kain-kain itu. Seketika keringat dingin memenuhi tubuhnya.

"Siapa?"

"Ini aku," Matanya memicing ketika mengenali suara menggeram itu. "Aku ingin mengajakmu makan malam."

Junkyu sedikit tertawa. "Kau mengurungku, lalu mengajakku makan malam bersama? Apa kau tidak cukup gila untuk melakukan itu?"

Bisa dia dengar sebuah gerama kesal dari balik sana. Suara gaduh tampak memenuhi keadaan luar. "Baiklah! Terserah kau saja!"

Beauty and The Beast [Harukyu Version]Where stories live. Discover now