Azlan Afri Abraham

316 15 1
                                    

"Dari mana kamu Azlan?" Tanya pria paruh baya dengan kacamata yang setia bertengker di hidungnya itu.

Azlan yang mendengar namanya dipanggil pun memberhentikan langkahnya, dan berbalik menatap papanya.

"Peduli apa anda dengan saya?"

"Papa tanya baik-baik. Kenapa kamu jawabnya gitu?"

"Udah lah. Anda jangan pedulikan saya, pedulikan saja anak bungsu anda itu" jawab Azlan dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Teriakan dari Mahes Abraham--papanya, pun tidak lagi diindahkan oleh Azlan.

Setelah memasuki kamarnya, Azlan membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi terlentang menatap langit kamarnya dengan tatapan kosong.

Ingatannya berputar kembali pada 3 tahun lalu saat Ananta Abraham--kakak kandungnya, meninggal akibat kecelakaan. Semenjak kejadian itu Azlan rasa orang tuanya sudah berhenti menyayanginya. Jika kalian berpikir Azlan lah penyebab kematian kakaknya, maka kalian salah besar. Orang tuanya berhenti menyayanginya karena mereka menuntut Azlan untuk menjadi seperti kakaknya yang berbakat dan pintar dalam bidang akademik maupun non akademik. Sedangkan Azlan tidak sanggup, dan jadilah mereka membanding-bandingkan Azlan dengan kakaknya.

Athaya Afrita Abraham--adik kandung Azlan menjadi korban atas ego orang tuanya yang ingin memiliki pengganti Ananta. Meskipun Azlan tau bahwa adiknya hanya dijadikan robot oleh orang tuanya, Azlan tidak menampik bahwa dirinya tidak iri kepada adik perempuannya itu. Pasalnya Athaya sering menghabiskan waktu bersama orang tuanya, sedangkan Azlan? Mendapati orang tuanya masih mengingat namanya saja dia sudah bersyukur.

"Akhhhh" Azlan mengusap wajahnya kasar. Melepas sepatu yang masih melekat di kakinya, beralih memakai sendal dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, hal itu tidak membuat Azlan mengurungkan niatnya untuk mandi. Setelah selesai mandi, Azlan duduk di kursi dekat ranjangnya. Bisa disebut tempat belajar, namun tempat itu tidak pernah digunakan Azlan untuk belajar. Mungkin namanya menjadi 'hiasan kamar' sekarang, saat berada di kamar Azlan. Azlan melihat tumpukan buku yang tidak pernah ia sentuh sekalipun.

"Kalo bisa milih, gue juga gak mau dilahirkan dalam keadaan bodoh" monolognya masih dengan pandangan mengarah ke buku-buku yang dulu dibelikan orang tuanya untuknya.

Memilih mengabaikan itu semua, Azlan memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuk miliknya. Alam mimpi lebih menarik dari pada kehidupan nyata, jika bisa Azlan juga ingin tidur dalam waktu yang lama. Selamanya. Lebih tepatnya.

***

"Pagi bang" sapa Athaya sangat ramah, melihat Azlan menghampiri meja makan.

Athaya menghela nafas panjang saat hanya deheman yang selalu didapatnya ketika menyapa abangnya.

"Bang, pulang sekolah nanti jemput Thaya ya"

"Ngapain? Bukannya lo biasanya sama supir?" Tanya Azlan dingin tanpa menatap adik bungsunya itu.

"Pengen aja. Terus sebelum pulang kita jalan-jalan dulu gitu"

"Gak. Gabisa. Sibuk"

Athaya menggulum senyumnya. Selalu saja seperti ini, mana kehangatan seorang abang yang biasa diceritakan teman-temannya.

AzlanWhere stories live. Discover now