Part 2

17 3 1
                                    

"Vi, liat ini, deh!" Kutunjuk nisan batu ketiga.

Stevia mendekat.

"Aw!" Namun, langkah kaki Stevia membentur sesuatu hingga membuatnya tersandung.

Aku baru saja akan menangkap tubuhnya, ketika tiba-tiba tanah kuburan di sekitar kami berguncang hebat. Tanah lembap itu bergemeretak seperti membelah di sana-sini, seolah akan menelan nisan-nisan di atasnya. Suara gemuruh dan kenyataan bahwa gumpalan-gumpalan tanah berhamburan itu mengerikan.

Lalu senyap.

Spontan saja aku bangkit, melupakan Stevia yang masih dalam posisi duduk setelah terjerembab.

Belum selesai keterkejutan kami, pintu kayu satu-satunya itu terbuka. 'Orang gila yang tadi,' pikirku.

"Ayo, Vi!" Segera kutarik tangan Stevia agar berdiri, lalu kuseret dia sekencangnya. Dengan panik, kami berlari keluar dari bangunan persegi itu, melewati seorang lelaki muda tinggi besar, berwajah pucat. Samar kulihat dia membawa sebuah keranjang, semacam keranjang kue. Dari ekspresinya, kurasa dia sama kagetnya dengan kami.

Tapi aku tak peduli, dia orang lain atau orang gila yang tadi, yang jelas kami harus segera melarikan diri. Jarak menuju rumah sudah tinggal tiga blok lagi, dan kami tidak ingin lebih lama berada di tempat aneh ini. Kami terus saja berlari tanpa berhenti.

"Stel!" Setelah dua blok terlewati, Stevia memperlambat larinya. "Di-a nggak nge-jar," ujarnya cukup keras, masih dengan napas terputus-putus.

Aku ikut memperlambat laju, lalu menengok ke belakang. "Iya." Aku kembali mengatur napas. "Itu bukan orang gila yang tadi."

"Tetep aja serem. Dia manggil kita tadi." Stevia mengusap peluh di kening, lalu membetulkan kuncir rambutnya.

"Iya, aku juga denger." Kami mulai berjalan lebih santai. Kurapikan anak-anak rambut yang jatuh ke dahi. Rambutku selalu dipotong pendek. Orang bilang, aku sedikit tomboy, berlawanan dengan saudari kembarku.

"Gelap banget, sih, ini. Mati lampu, kali, ya?" Stevia berjalan tanpa melihat sekeliling, dia sibuk menendang kerikil-kerikil kecil di jalan yang kami lewati.

Dalam beberapa langkah, kami masih berjalan gontai. Namun, tiba-tiba aku menyadari sesuatu.

"Vi." Kutahan lengannya. Kurasakan hawa kepanikan mulai naik hingga kepala. Rumah-rumah di sekitar kami bukan sedang mati lampu. Bukan! Sinar temaram yang terlihat di tiap rumah berasal dari lampu minyak yang ditempelkan di dinding. Jelas saja tak berhasil menerangi jalanan yang kami lalui.

"Di sini harusnya rumah Juan, Vi!" ujarku, setengah berteriak, sembari menunjuk salah satu rumah di kanan jalan. "Trus, ini kenapa jalanannya berbatu-batu gini? Ini bukan kayak jalan ke rumah kita!" Entahlah, kepalaku rasanya pening. Rumah kami seharusnya terlihat dari sini. Tiga rumah lagi, kami akan sampai.

Kurasakan tarikan tangan Stevia di pergelangan tanganku. Dia mengajakku berlari. Sama sepertiku, mungkin dia juga ingin segera memastikan bahwa di depan sana nanti kami akan menemui rumah kami.

Aku mematuhinya, berlari kencang bersisian, mendengarkan napas dan detak jantung yang menderu beradu dengan suara batu-batu kerikil yang terlindas kaki-kaki kami.

Namun, sesampai di depan rumah pojok, yang kami lihat adalah sebuah rumah asing, dengan temaram lampu minyak sebagai penerangan.

Ini jelas bukan rumah kami.

Stevia berjongkok sambil menutup kedua telinga. Isaknya terdengar jelas. Kurasa, aku pun sama frustrasinya dengan dia. Sudahlah lelah berlari setelah mengalami kejadian buruk dengan orang gila, ditambah kuburan-kuburan berlumut tadi, guncangan keras di bangunan persegi, lalu sekarang ... kami tersesat?

FALL FOR VLADWhere stories live. Discover now