Belenggu

630 100 21
                                    

Liam menuruni anak tangga sambil melirik ke arah meja makan. Semua ada di sana kecuali sang Ayah.

“Sarapan, Dek,” ujar Isna pelan sambil tersenyum.

Liam menggeleng pelan, menarik tas selempangnya yang sedikit merosot, “aku gak usah sarapan, Bu.”

“Duduk, Dek!”

Kali ini suara Izan terdengar. Tanpa menoleh ke arah Liam dan terus fokus ke piring di hadapannya. Tapi seperti biasa, suaranya terdengar seperti mengindikasikan kalau dia tidak mau dibantah.

“Aku gak selera sarapan!”

Izan berdecak. Menoleh ke arah Liam yang terdiam di tengah ruangan menuju pintu keluar.

“Yaudah duduk dulu, tunggu aku, aku lagi sarapan ini.”

Liam mengembus napas. Rasanya ia pingin ribut setiap kali Abangnya sudah bersikap seperti itu.

“Ayah udah berangkat, Bu?” tanya Liam pada Ibunya yang dijawab Isna dengan anggukan cepat.

“Sarapan dulu, dong, Dek. Ini Ibu buatkan pasta kesukaan kamu.”

Kepala Liam lagi-lagi menggeleng, “aku tunggu di luar.”

Isna mengembus napas, mengaduk-aduk pasta di piringnya kemudian tanpa berniat memakannya.

“Apa kita udah keterlaluan ya, Bang?”

Izan menoleh, tidak langsung menjawab.
Entahlah, yang Izan rasakan selama ini ia hanya berkewajiban melakukan ini semua untuk Liam. Jujur, Izan tidak terlalu percaya pada adik bungsunya itu. Liam ceroboh, membuat Izan selalu khawatir entah apa yang Liam lakukan.

Kejadian dua tahun lalu ketika Liam terseret ombak dan tenggelam saat mereka sekeluarga berlibur ke Lombok masih melekat jelas di ingatannya. Seperti baru kemarin terjadi.

Tidak sadarkan diri lebih dari seharian. Semua anggota keluarga panik. Izan bahkan tak meninggalkan Liam sedetikpun waktu itu.
Rasanya diperparah saat semua orang tampak pasrah, berpikir mungkin Liam tidak bisa diselamatkan karena oksigen tidak mengalir ke otaknya saat itu. Izan tidak bisa lupa betapa marahnya dia.

Berdoa, memohon, sampai tak sadar ada janji terikrar di dalam hatinya. Kalau Liam bisa kembali ke pelukan keluarganya, tidak akan Izan biarkan Liam kesakitan lagi.

“Ini buat Liam, Bu. Dulu dia bisa kecelakaan dua kali dalam setahun. Itu kenapa aku dari awal gak suka dia bawa motor.”

“Dari dulu Liam gak pernah neko-neko anaknya. Anak Ibu gak ada yang gitu. Tapi akhir-akhir ini rasanya Liam banyak ngebantah, banyak mau. Ibu mikir apa karena dia udah gak tahan?”

“Bu, emang kita ngapain dia, sih? Kita nyiksa dia emang? Engga! Semua orang di rumah ini sayang sama dia.”

Temi melirik Izan sekilas sebelum berdecak pelan. Meraih tas punggung yang sedari tadi ia taruh di kaki kursi dan bangun dengan cepat.

“Kenapa sih teriak-teriak di depan makanan? Bikin selera makan hilang,” Temi berjalan setelah melirik sinis ke arah Izan, “Bu, aku berangkat.”

“Minta maaf sama Liam!” gumam Izan pelan penuh tekanan.

Temi menghentikan langkahnya di belakang punggung Izan. Menengadahkan kepala sambil mendesis seraya mengambil napas sebanyak mungkin.

“Dia yang bawa-bawa aku semalam. Aku cuma diam, dia yang nyari gara-gara.”

“Minta maaf!”

Izan menolehkan kepalanya, melihat langsung ke mata Temi yang tampak ingin berargumen. Namun tak satupun kata keluar dari mulut pria itu.

Until We Meet AgainOù les histoires vivent. Découvrez maintenant