[Phase 2-6] Selamat Jalan Pahlawan

172 51 1
                                    

Menuju dini hari, Dragond Bulwark yang sudah tak semegah saat pertama mereka datang disisipi angin dingin. Merambati dinding batu yang kini hancur berpuing-puing.

Oleh karenanya, ruangan tempat mereka menginap tak bisa memberikan kehangatan yang dibutuhkan. Dirga pun memilih bangun.

Ia melihat Luke masih pulas di ranjangnya dengan pose tidur yang aneh. Posisi badannya terbalik, tidak menghadap yang seharusnya. Sementara itu mulutnya menganga lebar dan mengeluarkan suara dengkuran halus. Sebelah tangannya menjuntai ke bawah, pakaiannya sedikit tersingkap hingga memperlihatkan perutnya, dan satu kakinya naik ke sandaran ranjang.

Di sela-sela tidur pulasnya itu, Luke mengigau Pelan. “Kutendang bokongmu, Fis ... kutendang kau ....”

Dirga meringis. Ia segera melempar selimutnya sendiri ke tubuh Luke untuk menutupi bocah itu.

Di bagian ruangan yang lain, ranjang yang ditiduri Tara terlihat lebih rapi. Wanita itu juga masih pulas. Tampak kelelahan dengan kerutan yang tercipta di dahinya. Dirga beranjak dari ranjangnya sendiri dan mulai berjalan melintasi ruangan. Ia hendak keluar sejenak guna mencari udara segar. Namun, alangkah terkejutnya lelaki itu manakala melihat ranjang yang harusnya ditiduri Aurora rupanya sudah kosong.

Dirga disambangi was-was. Teringat Aurora yang masih anak-anak dan seorang perempuan. Di dunia antah berantah ini, dengan penghuninya yang terkesan bar-bar dan apatis, sesuatu mungkin saja telah terjadi.

Jangan-jangan itu anak diculik! Batin Dirga panik.

Lelaki itu bergegas keluar ruangan. Mereka menginap di salah satu menara benteng, begitu Dirga membuka pintu, ia langsung disambut oleh jembatan benteng yang terbuat dari batu kokoh.

Di atas sini, angin dingin menerpa dari segala arah. Mata Dirga menyapu seluruh tempat sejauh matanya bisa memandang. Beruntungnya ia tidak harus kelabakan mencari kemana-mana sampai harus turun ke bawah.

Aurora sudah terlihat di depannya. Sedang menatap ke bawah dengan raut muka yang tak mampu dibaca.

“Merindukan rumah?” tanyanya, seraya mendekati Aurora.

Aurora bergeming. Tak menunjukkan tanda-tanda ia mendengarkan. Bahkan tak menoleh barang sedikit saja. Namun, Dirga tahu gadis itu menyadari kehadirannya juga mendengar suaranya.

“Gua juga. Rindu rumah ...,” matanya turun ke bawah. Mengenang sesuatu.

“Bokap sama Nyokap gue udah meninggal. Percuma rindu rumah. Nggak ada apa-apanya juga,” gumam Aurora tiba-tiba.

Dirga terdiam sejenak. Membiarkan angin membuat keributan di antara jeda yang terbentang, pun biar bentang jeda itu boleh di kata singkat, tetapi benak Dirga tak pelak cukup mampu merasakan keruhnya alur ujar yang mereka perbincangkan. Seketika hatinya tersengat rasa miris.

“Gitu ya ...,” tanggap lelaki itu. Matanya memandang berkas sinar bintang biru yang berpendar redup di tengah gulita angkasa. Suaranya dalam sekejap sirna oleh derau angin yang berkelebat. Hening kemudian datang menyambut bersama hawa yang kian dingin.

“Tapi ... meski nggak ada apa-apa di rumah, gue mau pulang.”

Suara Aurora menyentak batinnya. Bukan karena apa yang ia katakan, melainkan karena ia bisa merasakan adanya tekad dalam nada suaranya, yang saking kuatnya, Dirga merasakan suara gadis itu bergetar. Netranya pun beralih dari tirai angkasa ke sosok Aurora. Pupilnya melebar terkejut ketika mendapati

Hysteria : Escape From Another WorldKde žijí příběhy. Začni objevovat