"Aku tahu itu pasti sakit." Aku menunjuk pipi kiri Dean. Suaraku sedikit tengelam di antara deru mesin bis yang baru saja meninggalkan halte sekolah. Tapi, Dean masih bisa mendengar suaraku. Sepertinya dia bukan orang yang akan cepat tuli saat tua nanti.

Selintas Dean menoleh padaku sembari menunjuk pipinya yang masih merah. Ia sedikit menelengkan kepalanya ke kiri, "Menurutmu?"

Aku tidak menjawab, hanya nyengir kuda. Ia pun mengangat kedua alisnya, "Kau harus bertanggung jawab. Setidaknya berterima kasihlah karena aku sudah mempertaruhkan wajah tampanku untuk menjadi tamengmu," katanya, ia menunjukkan seringai khasnya.

"Hei! Aku kan tidak memintamu untuk mengorbankan diri untukku!" selorohku tidak terima. Ia menerima jitakan dariku di dahinya. 

            "Kau jauh lebih pemarah dibanding dulu," Ia menyinggung ingatannya mengenaiku saat kami masih duduk di junior high school.

            "That's all because of you." Mataku menatapnya sebal, diikuti lenguhan kesal yang lolos dari mulutku. Tepat setelahnya, Dean menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Sebelum aku sempat bertanya, pandangannya teralih dariku. Ia menatap lurus ke depan dan tidak mengajakku berbicara sampai kami turun di halte dekat rumahku.

***

            "Bukankah sudah kubilang? Kau tidak boleh masuk ke dalam rumahku!"

Dean bersikap cuek saja. Tidak mengacuhkan laranganku. Dia tetap masuk ke dalam rumah, dan sekarang sedang duduk asyik di atas sofa di ruang TV. Baiklah aku menyerah. Apapun yang kukatakan, tidak akan memberi pengaruh apapun. Jadi, biar sajalah. Sesuka dia saja!

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Dean padaku. Aku memang tidak langsung duduk di sebelahnya, melainkan terus berjalan ke belakang menuju dapur. Kubuka kulkas, mengambil beberapa kotak es batu dan baskom. Dean tetap duduk di sofa itu, seraya memperhatikanku berjalan ke arahnya. Dia sempat membantuku duduk, juga mengambil baskom berisi es-es batu yang kubawa dari dapur tadi.

Dean menyeringai penuh arti. Ya, aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya, dan kali ini dia memang tidak kepedean. Baskom dan es batu itu memang ku ambil untuk Dean. Aku bermaksud mengompres bekas tamparan di pipi laki-laki badung itu.

"Wah..ternyata aku memiliki kekasih yang perhatian sekali padaku." Dean mulai berkomentar, saat aku tengah menempelkan es batu – yang sebelumnya kubungkus dengan saputanganku – ke pipinya.

Aku melotot, dengan sengaja ku tekan keras pipinya. Tentu saja dia meringis kesakitan. "Rasakan! Jangan coba-coba kau menyebutku dengan sebutan kekasih mu! Ingat ya...ini—hanya—taruhan."

Dean terkekeh, "Meski hanya taruhan..., tapi seperti sungguhan kan? Aku senang, kok, selalu kau kirimi pesan manis setiap saat."

"Tidak setiap saat, dan sekali lagi kutekankan, itu demi taruhan!" Aku menyerahkan saputangan berisi es itu pada Dean. "Kompres sendiri!" Sambil bertumpu pada tongkatku, aku segera berdiri usai menyuruhnya merawat dirinya sendiri.

"Kau mau kemana?" tanya Dean.      

"Aku mau ganti baju dulu. Kau tunggu saja di sini."

"Biar kubantu." Dean mengambil ancang-ancang berdiri.

"Jangan harap ya!" seruku.  "Aku bisa ganti baju sendiri! Dasar mesum."

"Apa,sih, yang kau bicarakan? Maksudku, aku akan membantumu menaiki tangga."

 

"......."

 

Akhirnya, Dean benar-benar membantuku menaiki tangga. Begitu kami sampai di anak tangga paling atas, aku segera melepaskan tanganku dari bahunya, dan bertumpu pada tongkatku. "Cukup sampai di sini!" Aku menghalangi Dean ikut masuk ke dalam kamarku. Pria itu menunjukkan seraut muka mengiba yang membuatku seperti ingin menendangnya hingga terpental ke arah tangga. "Kau pikir aku akan terpengaruh?"

Love Game [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now